Saturday, November 5, 2011

Catatan Kecil


Catatan Kecil,
Perlu dibaca Sebelum ke Palue.
Palue adalah sebuah pulau exotic yang berdiri mega sendirian di utara pulau Flores berjarak ±35 mil laut ke arah Barat Laut dari Kota Maumere. Pulau Palue masuk dalam wilayah pemerintahan Kabupaten Sikka, walaupun letaknya berada di Utara kabupaten Ende. Terkenal karena gunung api Rokatenda yang selalu aktif dan beberapa kali meletus, beberapa Ritual Adat yang sangat unik antara lain “Upacara Pathi Kharaphau”, juga tarian muda mudi yang sempat menjadi tarian rakyat NTT pada berbagai acara pesta seperti perkawinan dan acara lainnya yaitu tarian Rokatenda.
Pulau Palue dapat dicapai dari beberapa tempat, dari Maumere ibu kota Kabupaten Sikka dengan menggunakan perahu motor tradisional orang Palue selama lebih kurang 4 jam, dengan biaya yang relatif sangat murah (± Rp30.000,-) atau dari desa Ropha kabupaten Ende dengan perahu motor tradisional Palue (biaya negosiasi) lebih kurang 1 jam menuju pelabuhan alam Hoa Palue atau bisa berlabuh dimana saja di sekeliling pulau Palue karena hampir semua pantai di pulau ini memiliki pelabuhan alam yang indah. Berlayar di laut lepas, kadang teduh kadang berombak, angin dan arus dapat datang silih berganti. Bagi yang berjiwa petualang dan nenek moyangnya adalah pelaut merupakan hal yang biasa, tapi bagi mereka yang belum tahu kalau air laut itu asin mungkin akan menjadi sebuah pengalaman yang luar biasa, patut dicoba.
Orang Palue menamakan pulau ini dengan sebutan “Thana Lua”, karena itu “orang Palue” menamakan diri dengan sebutan “Atha Lua”. Atha Lua Memiliki Tradisi, Budaya dan Bahasa sendiri. Hampir semua “Atha Lua” beragama Katholik, agama yang diajarkan oleh Misionaris Portugis dan Belanda ketika datang di pulau Flores termasuk di Palue. Orang Palue sendiri sebelum masuknya agama Katholik, sudah memiliki sebuah Kepercayaan sendiri yang disebut ”Era Wula Wathu Thana”. Sebuah “kepercayaan” yang mengakui adanya Pencipta yang Maha Tinggi yang menguasai semesta alam, yang dalam keyakinannya dilambangkan dengan “Era Wula”, dan  adanya hubungan horizontal sakral antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alam sekitarnya, yang dilambangkan dengan “Wathu Thana”. Aliran Kepercayaan ini Hidup dan dipertahankan oleh “atha lua” sejak kehadiran para leluhur “atha Lua” sampai saat ini.
Orang Palue hidup sebagai Petani dan Nelayan yang masih bersifat sangat tradisional. Para Petani mulai membuka dan mempersiapkan lahan untuk mananam tanaman pangan seperti jagung, kacang hijau, kacang panjang, ubi, ubi kayu dan berbagai jenis tanaman pangan lainnya pada awal musin hujan. Sebelum membuka kebun baru dan menanam benih diawal musim tanam, masayarakat Palue selalu memulainya dengan ritual adat pembukaan kebun dan penanaman benih, yang disebut dengan “Upacara Manu Wai”. Musim hujan hanya berlangsung singkat antara 3 – 4 bulan, dari Januari sampai bulan Maret atau April. Kemudian akan berganti dengan musim panas/kering yang berlangsung cukup panjang dari April sampai dengan Nopember - Desember.
Makanan utama orang Palue adalah Ubi, Jagung, Kacang2an dan Ikan yang diolah secara tradisional dan khas orang Palue. Tidak ada warung atau rumah makan diseluruh pulau Palue, jadi minta saja pasti diberi makan. Air merupakan barang langkah, mandi seadanya karena Palue tidak mempunyai sumber air tanah/permukaan kecuali air hujan yang ditampung dalam bak penampungan air hujan, tapi untuk minum ada kelapa muda. Jangan meminta yang tidak ada pada kami karena hanya ini yang kami punyai. Setiap tamu yang datang pasti disambut dengan penuh senyum dan ramah oleh orang Palue. Jangan bertanya tentang penginapan karena tidak ada satu penginapanpun (hotel, homestay, dan lain-lain) di Palue kecuali rumah penduduk. Mereka akan sangat bangga bila anda mau inap di rumah mereka yang sangat sederhana dan makan minum apa adanya bersama mereka.
Selain sebagai petani dan nelayan, para wanita Palue juga membuat kerajinan tenun ikat khas Palue yang disebut “Thama” untuk wanita dan “Nae” untuk laki-laki, tenunan ini selain dipergunakan sendiri dan/atau untuk dijual, juga sebagian hasil tenunan dalam bentuk “kain/sarung adat” yang digunakan hanya jika berbagai kegiatan ritual adat Palue dilaksanakan.
Adat Perkawinan orang Palue mirip dengan adat perkawinan di pulau Flores pada umumnya dengan Mahar (Belis) yang terdiri dari Uang, Gading, Emas, Babi, Kambing yang harus diserahkan oleh pihak keluarga lelaki dan kemudian dibalas oleh pihak keluarga wanita dengan sarung, baju dan berbagai bahan pangan. Besar kecilnya mahar tergantung pada ketentuan adat setempat dan kedudukan pihak lelaki dan wanita dalam strata adat setempat.
Tata Pemerintahan, terdiri dari 1 Kecamatan dan 8 desa yaitu Desa (Maluriwu, Reruwaerere, Lidi, Kesokoja, Ladolaka, Tuanggeo, Rokirole dan Nitung Lea). Ada tiga desa berlokasi di pinggir pantai, sedangkan 5 desa lainnya berada di daerah gunung. Ibu kota Kecamatan berada di Uwa desa Maluriwu. Jumlah pendudknya tercatat ±11.000 orang, kebanyakan wanita dan anak-anak karena sebagian besar pria dewasa berada diluar daerah dan bahkan di luar negeri mencari kehidupan yang lebih baik. Jaringan jalan antar desa sebagian sudah dirabat walaupun belum menjangkau semua desa. Alat transportasi darat saat ini hanya sepeda motor (Ojek). Sedangkan Alat transpor darat sebelumnya dan bahkan yang paling utama digunakan disana sampai saat ini adalah “Kaki”, jadi kalau tidak biasa, berlatihlah “berkaki” sebelum ke Palue.
Pulau Palue kaya dengan berbagai obyek wisata seperti Pantai dengan pasir yang indah, karang laut yang menantang, panorama alam, sumber uap air panas yang bisa digunakan untuk memasak dan juga sebagai sumber air minum, wisata budaya, adat dan kesenian tradisional serta kerajinan tenun ikat dengan bermacam ragam dan corak. Masing-masing desa atau kampung memiliki keunikan budaya dan tradisi sendiri. Namun berbagai kekayaan ini masih dalam keadaan aslinya, belum ditata dengan baik sehingga mungkin belum memiliki daya tarik Pariwisata dan bernilai ekonomis.
Desa Mauluriwu dan Reruwaerere; Terletak di pinggir pantai utara Palue.  Di desa ini terdapat pantai Kerica, dermaga laut Kerica (sedang dibangun) dan Langa Hoa sebagai tempat tambatan perahu. Pantai  Kerica berpasir yang cukup indah, diujung Timur pantai (di laut) terdapat “Uap air panas alam”  yang dimanfaatkan untuk mandi dan dipercayai dapat menyembuhkan penyakit kulit, juga digunakan sebagai tempat khusus untuk masak makanan (ubi, sayuran, kacang, dan lain-lain) yang berlokasi di Tanjung Tiramana, Hoje Langaca, Wae Ate dan Hoje Poro, dan sumber uap panas (di darat) yang disuling untuk memperoleh air minum dan berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium Kesehatan kualitas air minum ini menyamai air minum mineral (aqua), Di desa Reruwaerere terdapat ritus adat “Thu Teu” yang akhir-akhir ini jarang dilaksanakan lagi, tergantung pada adanya hama tikus yang merusak tanaman masyarakat. Desa Tuanggeo dan Ladolaka: Di kedua desa ini terdapat upacara“Pathi Kharaphau”. Desa Nitung Lea dan desa Rokirole: Upacara Pathi Kharaphau juga dilaksanakan di desa Nitung Lea dan desa Rokirole. Tempat dilaksanakan upacara adat Pathi Kharaphau dinamakan “Thubu”. Acara adat ini  biasanya dilaksanakan setiap 5 tahun sekali dengan waktu yang berbeda antara  satu desa dengan desa lainnya. Desa Lidi, berada di sebelah Selatan pulau Palue, kepudan Gunung api Rokatenda langsung terbuka ke desa ini. Salah satu dusunnya yaitu dusun Ona telah dipindahkan ke Nangahure Kelurahan Hewuli karena letusan gunung Rokatenda tahun 1980 yang lahar panasnya telah menghanguskan seluruh perkampungan di dusun ini. Desa Kesokoja, berada di kaki gunung bagian Utara pulau Palue.
Ada 3 desa yang letaknya langsung berada di kaki gunung Rokatenda, yaitu desa Lidi, desa Nitung Lea dan desa Kesokoja. Di ketiga desa ini terdapat tempat wisata Rohani, Pantung Bunda Maria. Pulau ini dapat dikelilingi dengan perahu motor tradisional Palue sekitar 1 – 2 jam sambil menikmati keindahan alamnya.
Semua desa di Palue memiliki ritus adat “Mula Rathe” yaitu sebuah ritus adat yang bertujuan untuk mendirikan/menanam batu nisa sebagai tanda bahwa orang Palue tersebut telah meninggal. Dengan adanya tradisi adat tersebut, maka setiap orang Palue yang meninggal dimana saja di dunia ini, dapat dikuburkan di tempat dimana yang bersangkutan meninggal dunia, jenazahnya tidak perlu diantar pulang ke Palue, karena menurut adat Palue yang dibawa pulang cukup hanya Kuku dan Rambut. Kuku dan Rambut menjadi lambang kehadiran orang yang telah meninggal tersebut di tengah keluarga dan masyarakat adat. Karena itu, setiap orang Palue yang meninggal pasti ada upacara pemotongan Kuku dan Rambut yang nanti dibawa ke Palue dan dikumpulkan bersama kuku dan rambut para leluhur yang telah meninggal, sebagai tanda bahwa keluarga ini walaupun sudah meninggal tetap bersatu, berkumpul bersama keluarga yang masih hidup. Ritus adat ini sudah dilakansakan secara turun temurun sampai saat ini. Untuk desa-desa dimana masyarakat adat yang melaksanakan upacara “Pathi Kharapau” ritus adat ini dilaksanakan 1 (satu) tahun sebelum upacara Pathi Kharaphau dilaksanakan.
Beberapa ritus adat lain yang ada dan dilaksanakan secara turun temurun sampai sekarang adalah sebagai berikut: “Thapha Kua, Loge Thaba, Poo Thubu/Lengi Ene, Siko Siwe, Kha Tio, Thata Liba, Ngiru Phapha, Ngiru Uru, Peru/Kha Ngalu”. Ini adalah ritus adat yang berhubungan dengan siklus kehidupan manusia Palue sejak dalam kandungan sampai kematiannya.
Inilah secuil gambaran tentang Pulau Palue yang dalam peta Indonesia “tidak ada”, kecuali dalam peta Provinsi NTT, dan disebut pulau “Raja”, yang saya miliki dan saya bagikan. Pasti banyak cerita kurangnya, mudah-mudahan bisa menjadi petunjuk awal bagi mereka yang ingin mengunjungi dan menikmati berbagai kekayaan alam Palue dari dekat untuk bercerita dan menambah yang kurangnya. Terima kasih banyak (“Mbola so so”).
Maumere, 5 Nop. 2011
Dr. Wera Damianus, MM.
READ MORE - Catatan Kecil