Saturday, November 5, 2011

Catatan Kecil


Catatan Kecil,
Perlu dibaca Sebelum ke Palue.
Palue adalah sebuah pulau exotic yang berdiri mega sendirian di utara pulau Flores berjarak ±35 mil laut ke arah Barat Laut dari Kota Maumere. Pulau Palue masuk dalam wilayah pemerintahan Kabupaten Sikka, walaupun letaknya berada di Utara kabupaten Ende. Terkenal karena gunung api Rokatenda yang selalu aktif dan beberapa kali meletus, beberapa Ritual Adat yang sangat unik antara lain “Upacara Pathi Kharaphau”, juga tarian muda mudi yang sempat menjadi tarian rakyat NTT pada berbagai acara pesta seperti perkawinan dan acara lainnya yaitu tarian Rokatenda.
Pulau Palue dapat dicapai dari beberapa tempat, dari Maumere ibu kota Kabupaten Sikka dengan menggunakan perahu motor tradisional orang Palue selama lebih kurang 4 jam, dengan biaya yang relatif sangat murah (± Rp30.000,-) atau dari desa Ropha kabupaten Ende dengan perahu motor tradisional Palue (biaya negosiasi) lebih kurang 1 jam menuju pelabuhan alam Hoa Palue atau bisa berlabuh dimana saja di sekeliling pulau Palue karena hampir semua pantai di pulau ini memiliki pelabuhan alam yang indah. Berlayar di laut lepas, kadang teduh kadang berombak, angin dan arus dapat datang silih berganti. Bagi yang berjiwa petualang dan nenek moyangnya adalah pelaut merupakan hal yang biasa, tapi bagi mereka yang belum tahu kalau air laut itu asin mungkin akan menjadi sebuah pengalaman yang luar biasa, patut dicoba.
Orang Palue menamakan pulau ini dengan sebutan “Thana Lua”, karena itu “orang Palue” menamakan diri dengan sebutan “Atha Lua”. Atha Lua Memiliki Tradisi, Budaya dan Bahasa sendiri. Hampir semua “Atha Lua” beragama Katholik, agama yang diajarkan oleh Misionaris Portugis dan Belanda ketika datang di pulau Flores termasuk di Palue. Orang Palue sendiri sebelum masuknya agama Katholik, sudah memiliki sebuah Kepercayaan sendiri yang disebut ”Era Wula Wathu Thana”. Sebuah “kepercayaan” yang mengakui adanya Pencipta yang Maha Tinggi yang menguasai semesta alam, yang dalam keyakinannya dilambangkan dengan “Era Wula”, dan  adanya hubungan horizontal sakral antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alam sekitarnya, yang dilambangkan dengan “Wathu Thana”. Aliran Kepercayaan ini Hidup dan dipertahankan oleh “atha lua” sejak kehadiran para leluhur “atha Lua” sampai saat ini.
Orang Palue hidup sebagai Petani dan Nelayan yang masih bersifat sangat tradisional. Para Petani mulai membuka dan mempersiapkan lahan untuk mananam tanaman pangan seperti jagung, kacang hijau, kacang panjang, ubi, ubi kayu dan berbagai jenis tanaman pangan lainnya pada awal musin hujan. Sebelum membuka kebun baru dan menanam benih diawal musim tanam, masayarakat Palue selalu memulainya dengan ritual adat pembukaan kebun dan penanaman benih, yang disebut dengan “Upacara Manu Wai”. Musim hujan hanya berlangsung singkat antara 3 – 4 bulan, dari Januari sampai bulan Maret atau April. Kemudian akan berganti dengan musim panas/kering yang berlangsung cukup panjang dari April sampai dengan Nopember - Desember.
Makanan utama orang Palue adalah Ubi, Jagung, Kacang2an dan Ikan yang diolah secara tradisional dan khas orang Palue. Tidak ada warung atau rumah makan diseluruh pulau Palue, jadi minta saja pasti diberi makan. Air merupakan barang langkah, mandi seadanya karena Palue tidak mempunyai sumber air tanah/permukaan kecuali air hujan yang ditampung dalam bak penampungan air hujan, tapi untuk minum ada kelapa muda. Jangan meminta yang tidak ada pada kami karena hanya ini yang kami punyai. Setiap tamu yang datang pasti disambut dengan penuh senyum dan ramah oleh orang Palue. Jangan bertanya tentang penginapan karena tidak ada satu penginapanpun (hotel, homestay, dan lain-lain) di Palue kecuali rumah penduduk. Mereka akan sangat bangga bila anda mau inap di rumah mereka yang sangat sederhana dan makan minum apa adanya bersama mereka.
Selain sebagai petani dan nelayan, para wanita Palue juga membuat kerajinan tenun ikat khas Palue yang disebut “Thama” untuk wanita dan “Nae” untuk laki-laki, tenunan ini selain dipergunakan sendiri dan/atau untuk dijual, juga sebagian hasil tenunan dalam bentuk “kain/sarung adat” yang digunakan hanya jika berbagai kegiatan ritual adat Palue dilaksanakan.
Adat Perkawinan orang Palue mirip dengan adat perkawinan di pulau Flores pada umumnya dengan Mahar (Belis) yang terdiri dari Uang, Gading, Emas, Babi, Kambing yang harus diserahkan oleh pihak keluarga lelaki dan kemudian dibalas oleh pihak keluarga wanita dengan sarung, baju dan berbagai bahan pangan. Besar kecilnya mahar tergantung pada ketentuan adat setempat dan kedudukan pihak lelaki dan wanita dalam strata adat setempat.
Tata Pemerintahan, terdiri dari 1 Kecamatan dan 8 desa yaitu Desa (Maluriwu, Reruwaerere, Lidi, Kesokoja, Ladolaka, Tuanggeo, Rokirole dan Nitung Lea). Ada tiga desa berlokasi di pinggir pantai, sedangkan 5 desa lainnya berada di daerah gunung. Ibu kota Kecamatan berada di Uwa desa Maluriwu. Jumlah pendudknya tercatat ±11.000 orang, kebanyakan wanita dan anak-anak karena sebagian besar pria dewasa berada diluar daerah dan bahkan di luar negeri mencari kehidupan yang lebih baik. Jaringan jalan antar desa sebagian sudah dirabat walaupun belum menjangkau semua desa. Alat transportasi darat saat ini hanya sepeda motor (Ojek). Sedangkan Alat transpor darat sebelumnya dan bahkan yang paling utama digunakan disana sampai saat ini adalah “Kaki”, jadi kalau tidak biasa, berlatihlah “berkaki” sebelum ke Palue.
Pulau Palue kaya dengan berbagai obyek wisata seperti Pantai dengan pasir yang indah, karang laut yang menantang, panorama alam, sumber uap air panas yang bisa digunakan untuk memasak dan juga sebagai sumber air minum, wisata budaya, adat dan kesenian tradisional serta kerajinan tenun ikat dengan bermacam ragam dan corak. Masing-masing desa atau kampung memiliki keunikan budaya dan tradisi sendiri. Namun berbagai kekayaan ini masih dalam keadaan aslinya, belum ditata dengan baik sehingga mungkin belum memiliki daya tarik Pariwisata dan bernilai ekonomis.
Desa Mauluriwu dan Reruwaerere; Terletak di pinggir pantai utara Palue.  Di desa ini terdapat pantai Kerica, dermaga laut Kerica (sedang dibangun) dan Langa Hoa sebagai tempat tambatan perahu. Pantai  Kerica berpasir yang cukup indah, diujung Timur pantai (di laut) terdapat “Uap air panas alam”  yang dimanfaatkan untuk mandi dan dipercayai dapat menyembuhkan penyakit kulit, juga digunakan sebagai tempat khusus untuk masak makanan (ubi, sayuran, kacang, dan lain-lain) yang berlokasi di Tanjung Tiramana, Hoje Langaca, Wae Ate dan Hoje Poro, dan sumber uap panas (di darat) yang disuling untuk memperoleh air minum dan berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium Kesehatan kualitas air minum ini menyamai air minum mineral (aqua), Di desa Reruwaerere terdapat ritus adat “Thu Teu” yang akhir-akhir ini jarang dilaksanakan lagi, tergantung pada adanya hama tikus yang merusak tanaman masyarakat. Desa Tuanggeo dan Ladolaka: Di kedua desa ini terdapat upacara“Pathi Kharaphau”. Desa Nitung Lea dan desa Rokirole: Upacara Pathi Kharaphau juga dilaksanakan di desa Nitung Lea dan desa Rokirole. Tempat dilaksanakan upacara adat Pathi Kharaphau dinamakan “Thubu”. Acara adat ini  biasanya dilaksanakan setiap 5 tahun sekali dengan waktu yang berbeda antara  satu desa dengan desa lainnya. Desa Lidi, berada di sebelah Selatan pulau Palue, kepudan Gunung api Rokatenda langsung terbuka ke desa ini. Salah satu dusunnya yaitu dusun Ona telah dipindahkan ke Nangahure Kelurahan Hewuli karena letusan gunung Rokatenda tahun 1980 yang lahar panasnya telah menghanguskan seluruh perkampungan di dusun ini. Desa Kesokoja, berada di kaki gunung bagian Utara pulau Palue.
Ada 3 desa yang letaknya langsung berada di kaki gunung Rokatenda, yaitu desa Lidi, desa Nitung Lea dan desa Kesokoja. Di ketiga desa ini terdapat tempat wisata Rohani, Pantung Bunda Maria. Pulau ini dapat dikelilingi dengan perahu motor tradisional Palue sekitar 1 – 2 jam sambil menikmati keindahan alamnya.
Semua desa di Palue memiliki ritus adat “Mula Rathe” yaitu sebuah ritus adat yang bertujuan untuk mendirikan/menanam batu nisa sebagai tanda bahwa orang Palue tersebut telah meninggal. Dengan adanya tradisi adat tersebut, maka setiap orang Palue yang meninggal dimana saja di dunia ini, dapat dikuburkan di tempat dimana yang bersangkutan meninggal dunia, jenazahnya tidak perlu diantar pulang ke Palue, karena menurut adat Palue yang dibawa pulang cukup hanya Kuku dan Rambut. Kuku dan Rambut menjadi lambang kehadiran orang yang telah meninggal tersebut di tengah keluarga dan masyarakat adat. Karena itu, setiap orang Palue yang meninggal pasti ada upacara pemotongan Kuku dan Rambut yang nanti dibawa ke Palue dan dikumpulkan bersama kuku dan rambut para leluhur yang telah meninggal, sebagai tanda bahwa keluarga ini walaupun sudah meninggal tetap bersatu, berkumpul bersama keluarga yang masih hidup. Ritus adat ini sudah dilakansakan secara turun temurun sampai saat ini. Untuk desa-desa dimana masyarakat adat yang melaksanakan upacara “Pathi Kharapau” ritus adat ini dilaksanakan 1 (satu) tahun sebelum upacara Pathi Kharaphau dilaksanakan.
Beberapa ritus adat lain yang ada dan dilaksanakan secara turun temurun sampai sekarang adalah sebagai berikut: “Thapha Kua, Loge Thaba, Poo Thubu/Lengi Ene, Siko Siwe, Kha Tio, Thata Liba, Ngiru Phapha, Ngiru Uru, Peru/Kha Ngalu”. Ini adalah ritus adat yang berhubungan dengan siklus kehidupan manusia Palue sejak dalam kandungan sampai kematiannya.
Inilah secuil gambaran tentang Pulau Palue yang dalam peta Indonesia “tidak ada”, kecuali dalam peta Provinsi NTT, dan disebut pulau “Raja”, yang saya miliki dan saya bagikan. Pasti banyak cerita kurangnya, mudah-mudahan bisa menjadi petunjuk awal bagi mereka yang ingin mengunjungi dan menikmati berbagai kekayaan alam Palue dari dekat untuk bercerita dan menambah yang kurangnya. Terima kasih banyak (“Mbola so so”).
Maumere, 5 Nop. 2011
Dr. Wera Damianus, MM.
READ MORE - Catatan Kecil

Monday, September 5, 2011

PALUE, Identitas dan Budayanya

Palue adalah sebuah pulau kecil yang terletak sendirian ditengah laut Flores, bagian dari Kabupaten Sikka dan terletak ± 35 mil laut ke arah barat laut, mengalirkan cerita mengenai masyarakat yang menjunjung tinggi adat dan kebudayaannya yang tetap dipertahankannya sampai saat ini. Orang Palue memang unik karena memiliki identitas yang sangat khas berupa Bahasa, Kebudayaan dan Keseniannya.
Untuk mengenal lebih dekat mengenai Palue, saya mengajak kita bersama berlayar menuju ke sana. Perjalanan ke Pulau Palue diawali dengan persiapan di pelabuhan laut L. Say Maumere, lama perjalanan diperkirakan 4 – 5 jam dengan menggunakan perahu motor tradisional milik orang Palue. Kita mesti berdesak-desakan dengan penumpang orang Palue yang akan kembali setelah berbelanja berbagai keperluan pokok di Kota Maumere karena tidak ada sarana transportasi khusus untuk pergi dan pulang ke/dari Palue. Perahu motor biasanya berangkat jam 9 atau 10 pagi, dengan berlayar menyusuri pantai utara Maumere menuju ke arah Barat, terus melaju menuju tanjung Watumanuk. Dari tanjung ini pulau Palue baru dapat terlihat sayup nun jauh ditengah lautan. Bagi orang Palue bila sudah berada disekitar tanjung Watumanuk merasa seperti sudah berada di Palue.
Perahu motor akan berlabuh di pelabuhan Kerica atau pelabuhan Hoa, tergantung keadaan laut pada saat itu karena berhubungan dengan gelombang laut. Kalau musim Angin Barat maka pasti berlabuh di pelabuhan Kerica desa Reruwaerere tapi kalau saat itu musim Angin Timur maka pelabuhan yang dituju adalah Hoa desa Maluriwu. Namanya pelabuhan tapi masih alamiah tanpa dermaga. Penumpang akan turun ke darat dengan menggunakan sampan kecil tak bercadik (Sophe) yang dikendalikan oleh anak buah perahu motor, jadi harus sangat berhati-hati bagi yang belum terbiasa menumpang sampan ini, kalau tidak terpaksa mandi laut atau anggap saja sebagai upacara Selamat datang.
Pemeritahan di Pulau Palue adalah sebuah Kecamatan yang terdiri dari 8 desa, ada 3 desa terletak di pinggir pantai Utara dan Timur sedangkan 5 desa berada di daerah gunung bagian tengah dan barat Pulau Palue. Uwa adalah ibukota Kecamatan Palue yang terletak di pantai utara, tepatnya berada di desa Maluriwu. Di “kota” ini terdiri dari 2 desa yaitu desa Maluriwu dan desa Reruwaerere yang sebelumnya hanya satu desa yaitu desa Maluriwu, kemudian dimekarkan. Desa ini terdiri dari beberapa kampung yang berdekatan, terletak diatas bebukitan dengan pemandangan langsung ke arah laut. Masyarakat di kecamatan ini cukup ramah dan hidup penuh keakraban. Di desa Reruwaerere kadang dilakukan acara ritual adat Thu Theü. Acara ritual adat ini adalah sebuah ritual yang khusus dilakukan untuk mengusir tikus dari wilayah tersebut karena tikus dianggap sebagai hama yang merugikan petani. Selain upacara adat tersebut masih terdapat upacara adat lainnya yang disesuaikan dengan siklus kehidupan manusia, misalnya ritual adat kehamilan, kelahiran anak dan kematian.
Untuk mencapai desa lainnya, kita dapat melakukan perjalanan dengan menggunakan ojek bagi desa yang sudah dihubungkan dengan jalan raya yang sudah diberi rabat beton sedangkan bagi desa yang belum dapat dihubungkan dengan jalan raya dapat menggunakan perahu motor yang diatar ke pelabuhan terdekat ke kampung tersebut atau berjalan kaki.
Ada 4 desa di wilayah gunung mempunyai tradisi potong kerbau (Pathi Kharaphau) yaitu desa Ladolaka, Tuanggeo, Rokirole (dusun Cawalo dan Koa) dan desa Nitung Lea (dusun Nitung dan Cua). Tradisi Pathi Kharaphau adalah sebuah upacara puncak perayaan Syukur yang dilaksanakan oleh masyarakat adat setempat secara periodik 5 tahunan. Acara ini dimulai dengan berbagai ritual adat yang lain sebelum upacara puncak Pathi Kharaphau. Waktu pelaksanaan Pathi Kharaphau berbeda antara satu desa dengan desa lainnya tergantung pada keputusan dari masing-masing Lakimosa adat berdasarkan pada petunjuk yang disampaikan oleh “orang pintar”. Selain itu ada ritual adat lainnya yang disebut dengan ”Mula Rate” (menanam/meletakan Batu Nisan). Mula Rate adalah upacara meletakan “batu nisan” bagi setiap orang Palue yang meninggal dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Untuk kampung/dusun dengan ritual adat Pathi Kharaphau, ritual Mula Rate biasanya dilaksanakan 1 tahun sebelum upacara Pathi Kharaphau. Masih banyak ritual adat lainnya yang mengikuti siklus kehidupan orang Palue, selain berbagai cerita Legenda dan Mitos.
Demikianlah sekelumit cerita awal tentang orang Palue mengenai Identitas dan Budayanya. Untuk mengenal lebih jauh tentang Palue dan Budayanya saya mengajak semua orang yang berminat untuk mendalami dan memperlajarinya untuk menuju kesana.


READ MORE - PALUE, Identitas dan Budayanya

Saturday, July 23, 2011

Upacara Kematian berdasarkan Adat Nitung



Ritus adat kematian masyarakat adat Nitung dilaksanakan selama 3 hari, dengan urutan sejak saat kematian, adalah sebagai berikut:

a.   Hari Pertama:
1.   Ritual Poro Khukhu-Lolo (Potong Kuku dan Rambut).
Maksud acara: Memotong Kuku dan Rambut (khukhu-lolo) dari orang yang sudah meninggal sebagai lambang persekutuan bahwa walaupun badannya mati dan dikuburkan tetapi jiwanya tetap tinggal bersama keluarga yang masih hidup.  Tujuannya: agar orang yang sudah meninggal tetap tinggal hidup dan terhimpun bersama keluarga dimanapun mereka meninggal. Orang yang melakukan poro khukhu-lolo adalah atha wetha (saudari perempuan). Kuku dan rambut yang sudah dipotong dibungkus dalam kapas dan sehelai kain merah kemudian disimpan bersama khukhu-lolo keluarga lain yang sudah meninggal pada tempat khusus yang disebut Bhuku / Kenda (Kebis kecil) dan di sudut kamar khusus yang disebut ”Phidu”. Khukhu-lolo harus dijaga secara baik oleh salah seorang keluarga yang selalu tinggal di dalam rumah tersebut (atha ulu wua ne). Setiap kali melakukan upacara adat, maka harus selalu dipersembahkan sesajian khusus dalam bentuk makanan dan minuman (nee ngawu kha). Catatan: perlu ditelusuri lebih lanjut karena yang tercatat ini yang diingat.
2.   Acara thewe uwi:  Persiapan: semua jenis makanan yang dihasilkan disiapkan. Acara dimulai dengan pau siwe lae phidu dan dilanjutkan dengan menghambur berbagai jenis bahan makanan (bahan mentah) yang telah disiapkan di atas makam (biasanya di bagian kepala dan bagian kaki makam) oleh atha wetha (saudari perempuan). Acara dilaksanakan pada pagi hari pertama setelah orang yang meninggal dimakamkan. Tujuan acara Thewe uwi: memberi bekal yang cukup bagi orang yang telah meninggal agar tidak mengalami kekurangan makanan di alam baka??? Dalam tradisi aslinya, seharusnya berbagai jenis bahan makanan sebelum dihamburkan di atas makam  antara lain uwi (ubi), wewe (kacang panjang), keo (jagung) terlebih dahulu dimasak didalam rumah dengan memakai kaju roki (sejenis kayu beringin). Sesudah prosesi penghamburan makanan diatas makam, dilanjutkan dengan acara memberi makan kepada anak-anak pada sore hari. Acara di mulai dengan menyembelih seekor anak babi yang sudah disiapkan, kemudian dimasak dengan cara merebus. Acara ini bermakna sebagai lambang memberi makan orang dalam rumah. Selanjutnya disembelih seekor babi besar untuk memberi makan kepada orang di luar rumah, maksudnya semua orang yang datang melayat, membantu membuat peti mati dan menggali liang kubur serta sanak saudara yang datang melayat dari luar daerah dan tidak bisa pulang (menginap). Tidak seluruh bagian babi diolah tetapi bagian kepala babi dipotong dekat leher sedemikian rupa sehingga dipersiapkan untuk acara caä wawi thaba (bawah kepala babi) bagi pihak keluarga wanita atau pihak perempuan dari keluarga yang meninggal. Catatan: perlu digali lebih dalam karena yang tercatat ini yang diingat.

b.  Hari kedua:
    Upacara Phije Bhotho (Phije: haram, larang, Bhotho: rusak, busuk): artinya tidak melakukan aktifitas (kerja). Maksud upacara: agar semua orang dalam masyarakat adat dari keluarga yang meninggal yang sedang berkabung, tidak melakukan aktifitas apapun termasuk tidak boleh bekerja di kebun/ladang, karena akan berakibat semua jenis tanaman berubah,mengalami berwarna kuning, layu, rusak dan akhirnya mati. Catatan: perlu digali lebih dalam karena yang tertulis ini yang diingat.

c.    Hari ketiga:
1.    Acara Khua Wawa (Khua = buka, wawa = makam). Maksudnya setelah mayat diturunkan ke liang lahat dan dikuburkan, maka makam ditutup selama masa perkabungan dengan penutup kubur berupa tikar, atau ta (pelupuh) selama 3 hari, dan penutup makam baru dapat dibuka kembali pada hari ketiga, tepatnya pada sekitar jam 5 pagi. Pada masa sekarang karena makam langsung dibuat dari semen sehingga acara khua wawa jarang dilaksanakan. Pada hari tersebut setiap orang yang turut berkabung sudah bisa keluar dari tempat berkabung atau dari lingkungan adat dan dapat melakukan kembali seluruh aktifitas yang terhenti selama satu hari sebelumnya. Dalam acara khua wawa akan diamati diatas kuburan oleh orang pintar/dukun terhadap berbagai tanda/gambar atau tulisan yang dapat memberi makna tentang penyebab kematian orang yang bersangkutan.
2.    Acara Khobo Nio/Hona (khobo = potong, nio/hona = pohon kelapa/tanaman): Pada pagi/sore hari, pada hari ketiga atha wetha (saudari perempuan)  pana (pergi) memberi tanda satu jenis tanaman umur panjang milik saudara/keluarga yang meninggal misalnya kelapa, mangga, dan lain-lain sebagai lambang penyerahan dari pihak keluarga kepada pihak saudari (atha wetha)  untuk menjadi milik atha wetha.
3.    Setelah Acara Khobo Nio, dilanjutkan/dilaksanakan (secara besar-besaran) acara Pesta Adat (Bunuh Hewan, antara lain Babi) sebagai lambang kemenangan bahwa orang yang meninggal telah berkumpul kembali dengan penciptanya dan para leluhurnya (era wula wathu thana), dengan urutan acara sebagai berikut:
Upacara Lae Tio (mandi laut), acara dimulai dengan piá tha lowo siwe lae nua unene (buat lubang pada pelupuh untuk membuang biji beras(sesajian) lele oma lima (lima kali), dengan ucapan: (keri a wiwi, Kula (nama yang meninggal) akhu mo niu peli  mo angi, pana angimo ere tire masa, thaimo ere lina mbola, mangumo mi wara weo, lajamo mi phothe role, cai oma lima). Lege tedu yang sudah disiapkan di bawah ke atha wetha (wetha kela thaba), leka wa kali/ceka wathu ( lele nema oma lima) thene neo wathu. Sesudah itu lele nio, pesa siwe, wua mudu, pada pagi hari sebelum matahari terbit dua orang wanita dan seorang laki2 pergi mandi ke laut, sebagai lambang menjemput keluarga yang baru kembali dari mencari nafkah ditempat yang jauh (Flores). Dengan membawa wu, hupe, thobo, pothe loo, phuku, thephe, setibanya di pantai dimulai dengan acara pau siwe (biji beras), dilanjutkan dengan pergi ke pinggir pantai untuk mandi dengan muka menghadap ke laut. Sesudah mandi, kemudian semua membalikkan muka/badan menghadap ke darat, selanjutnya berangkat menuju ke kampung. Setelah tiba di luar kampung mereka akan dijemput oleh penjemput khusus. Penjemput akan memanggil/mananyakan mereka yang datang dari pantai dengan kata2: Bho atha wa (cai oma lima (5x) (thene niu tana miu mai ü ko laene). dijawab (wanita): khami mai ü (seharusnya acara ini dilaksanakan dipantai),  pua wawi, widi, lama,  noo khena the thione, mai caphu thene tithi wai tenge lama thene susu kua atha mathane. stelah itu dilanjutkan dengan tio lau khaju mengi, diujung kampung (natha wai). Orang yang berkabung disiram air dan selanjutnya dimandikan. Pulang dari luar kampung, mereka ngari (melepas lelah, istirahat) diujung kampung. Kegiatan ngari dilaksanakan dengan mama wua mudu, phake nio thene ninu, leka pana cai ae nua (dalam perarakan), sampai di rumah ganti pakaian di depan rumah dekat pintu masuk (seharusnya di dalam rumah) selanjutnya masuk ke dalam rumah sisir rambut, dan lain-lain, kemudian makan, minum, makan sirih pinang, isap rokok dan upacara selesai.
Bagi seluruh keluarga yang akan meninggalkan rumah duka untuk bepergian jauh  selama upacara adat belum selesai harus lowo/pau siwe, sebagai tanda pamit dan ucapan selamat berpisah. Dengan berakirnya ritual adat pada hari ke tiga, maka upacara ritual kematian dinyatakan selesai. Catatan: perlu digali lebih dalam karena yang tercatat ini yang diingat.
READ MORE - Upacara Kematian berdasarkan Adat Nitung

Upacara Adat "Tatha Liba" (Perdamaian/Pemulihan)

Maksud Upacara: untuk mendamaikan/memulihkan hubungan baik kedua pihak yang saling (muü) ”tidak saling bicara”, ”bermusuhan”. Tujuan Upacara: Tercapainya perdamaian/pemulihan dan kerukunan hidup antara para pihak yang bersengketa baik antar manusia maupun antara manusia dan alam (Thana Wathu). Bahan-bahan yang harus dipersiapkan, Siwe (biji beras, padi) secukupnya, telo (telur ayam) 1 butir,  ule wunu 1 daun, leke matha (tempurung kelapa), wae (air yang diisi dalam leke matha), hao  batang bambu (beberapa ruas). Peserta Upacara: Para pihak yang bersengketa, Pemangku Adat/Lakhimosa ”Tatha Liba”. Jalannya Upacara Adat: Peserta duduk bersama di atas hao (batang bambu) yang diletakkan di tanah. Pemangku Adat/Lakhimosa mulai melakukan upcara Tatha liba (perdamaian/pemulihan) dengan membasahi peserta tatha liba mulai dari dahi, tangan, siku, bahu, lutut, jari kaki  kiri/kanan sambil ujung ibu jari kaki kanan menjepit ule wunu yang terbungkus siwe pada setiap peserta Tatha liba  yang duduk di atas bambu palang dengan kapas yang dibasahi air yang di isi di dalam leke matha. Selesai kegiatan ini dilanjutkan dengan ”Pae” (mantra/doa adat). Sesudah pae setiap peserta membuang ludah kedalam leke (tempurung) berisi air sambil mengambil siwe yang sudah disiapkan. Selanjutnya semua peserta berdiri dan melakukan siko siwe (membuang ke belakang meleawti bahu tanpa menoleh) sambil menendang bambu palang tempat duduk ke belakang, kemudian salah satu peserta upacara Tatha liba memecahkan telur yang disiapkan. Selesai kegiatan para peserta dapat saling memberi maaf dengan cara bersalaman atau berpelukan, dan Acara selesai. Biaya Upacara: ditanggung oleh para pihak. Penanggung jawab Upacara: Pemangku Adat.
Salah satu Bahasa mantra / doa (Pae) yang diucapkan Pemangku Adat: ”INA RETHA ERA NOO WULA, AMA LAE WATHU NOO THANA, INA WO NODO LAU NUA EE NITHU, AMA WO TEI LAU WOGA EE NOA, INA CUGU KUNIMO PHULU NOO KUNIMO, AMA CEMO LAJAMO WAO NOO LAJAMO, SUDA THAA NOO PHU MO AE NODO THE THUNE, SIKE TAA NOO MORIMO AE TE RERANE, KAJU PHADA TEKI KAJU, THALI PHIDE LANGA THALI. THOU THAGA NESU THALI, BHU NODO THEMBO THENE CEWO, MORI THEI LO THENE ERE KAGO, NANGU LE NANGU NANGA, TIO LE WAE RIO”.
Catatan: Tata Upacara dapat dilengkapi bila ada yang merasa belum lengkap.
READ MORE - Upacara Adat "Tatha Liba" (Perdamaian/Pemulihan)

Monday, July 11, 2011

Upacara Adat "Pua Kharaphau"

UPACARA ADAT
”THUBU THANA”  dan ”KHARAPHAU”

A.           UPACARA ADAT PUA KHARAPHAU (KERBAU).

          Upacara Pua Kharaphau (pua: muat, angkut; kharaphau: kerbau) ini dilaksanakan sekali dalam 5 tahun, sesudah kerbau sebelumnya di potong (acara Pathi Kharaphau (Tersendiri). Sebelum upacara Pua Kharaphau dilaksanakan ada masa menunggu yang cukup lama. Tanda bahwa upacara Pua Kharaphau akan dimulai ialah kalau ada tuan tanah (Lakimosa) yang sakit berat tanpa penyebab. Jika petunjuk ini benar (melalui atha pisane)  bahwa harus pua kharaphau maka upacara akan secepatnya dijalankan.
Sebelum dilaksanakan upacara muat kerbau, didahului dengan acara/ritus Khau Cibo /Ci Cawo (permohonan) / Khau cibo raja le ulu ca eko lawan ae thene rora ae le ulu loon eko suthin. Acara ini dilaksanakan secara bersamaan dengan ritus Phoo Tubhu. Setelah Pii (bebas beraktifitas= setelah hari ketiga), para Lakimosa lalu pergi untuk mencari dan membeli kerbau di wilayah Lio (Utara Flores).
        Sesudah kerbau diperoleh, maka mereka yang ditugaskan untuk mencari kerbau harus pulang/kembali dulu ke kampung Nitung untuk mendirikan Woga Ca (rumah adat kerbau), dan Mea Maba (membunyikan gendang adat). Sesudah Woga Ca selesai dibangun, langsung mengadakan upacara adat yaitu Thumu Tegi Taa, Pije (tidak melakukan aktifitas) sampai kerbau dibawa dari Lio (Utara Flores), masyarakat adat yang tinggal di kampung tidak boleh kerja (tenun sarung, kerja kebun/ladang dan lain-lain) sampai kerbau tiba di pantai, Karena jika di kampung masyarakat beraktifitas/kerja maka kerbau akan berontak selama perjalanan menuju pantai Nitung. Setelah rombongan pengangkut kerbau tiba di pantai Nitung, baru pii (masyarakat adat bebas beraktifitas).
Acara Turun dari Kampung untuk berangkat Muat Kerbau.
       Mea maba (membunyikan gendang adat) dilaksanakan di dalam woga ca, setelah itu gendang adat diturunkan (sawe lo maba kho) untuk dibawa ke pantai, perjalanan sampai di Nunu Teo (nama tempat) maba kho (gendang gong dibunyikan) pertama kali sebagai pembukaan, yang kedua di Watu (nama tempat), yang ketiga Widi Kaja (nama tempat), yang keempat Bhasa Woko (nama tempat), yang kelima Nunu (nama tempat), yang keenam di Lenge (nama tempat), yang ketujuh Bhati Keni (nama tempat), dan yang terakhir di pantai. Pada waktu mau naik perahu maba ko di atas perahu disertai Selengea (memutar perahu 360 derajat)  sebanyak 5 kali kemudia langsung berlayar menuju utara Flores. Pada waktu tiba di Lio Selengea sebanyak 5 kali di pelabuhan lalu maba ko diturunkan ke darat. Kerbau di seret/tarik ke pantai. Sebelumnya ada acara makan minum bersama dengan pemilik kerbau sebagai acara perpisahan.
Acara Kerbau akan dinaikan ke Perahu (di Flores).
    Acara Penyerahan kerbau oleh pemilik kerbau kepada Lakimosa, kemudian Lakimosa menyerahkan barang berharga sebagai balasan (biasanya emas, gading). Setelah acara penyerahan secara adat, Kerbau langsung di muat ke atas perahu yang sudah disiapkan, selanjutnya dilaksanakan acara Oro (lagu adat) sebanyak 5 kali dan diikuti Selengea sebanyak 5 kali. Setelah acara oro  dan selengea, perahu langsung berangkat menuju pantai Nitung Palue.
Acara Kerbau tiba di Pantai Nitung Palue.
        Setibanya di pantai Nitung dilakukan Oro 5 kali, Selengea 5 kali stelah itu kerbau langsung diturunkan. Sebelum kerbau menginjakan kaki di daratan (tanah Nitung), maka ujung tali pengikat kerbau harus diterima terlebih dahulu oleh Lakimosa Kombi yang bertugas menerima ujung tali (thali ngalu). Setelah kerbau tiba di darat, istirahat, masyarakat/semua peserta acara dibagikan ketupat. Setelah selesai makan ketupat, kerbau siap untuk diberangkatkan ke kampung dimana pemegang tali kerbau oleh suku Soliawa yang tarik/mengeret sampai Bhasa Woko, lalu kerbau diserahkan kembali kepada Lakimosa Kombi dimana pihak Lakimosa Kombi  akan menerima dengan ucapan terima kasih berupa uang sesen dua (lambang) kepada suku Soliawa.
          Selanjutnya Kerbau dieret sampai di Nunu Teo  dan istirahat, lalu dieret lagi sampai di Woga Ca, kemudian dari woga ca kerbau langsung dieret lagi ke Thubu untuk makan Oko (gelagah/sejenis rumput) dengan disertai acara menari mengelilingi kerbau (Singgi-singgi) sebanyak 5 kali, kemudian kerbau dieret turun dari atas thubu menuju ke Woga Ca (tempat tinggal kerbau selama 5 tahun) untuk diikat. Setelah itu dilanjutkan dengan acara pemberian makan minum untuk semua peserta. Pada sore harinya kerbau dieret kembali ke Thubu untuk acara tandak selama 3 malam. Malam pertama acara togo niu kena ngaran/niu we (memberi nama kerbau), berlanjut sampai malam ketiga. Malam ke empat semua peserta upacara istirahat – tidur. Malam ke lima togo (tarian adat) dilanjutkan langsung dengan Nggeu. Setelah  Nggeu, dilanjutkan dengan acara tumu tegi taa (lali noo wawi).
          Setelah kerbau masuk Thubu (woga Ca), 2 hari kemudian diadakan acara Kao Bholo – yaitu Thubu raja mai (lakimosa kombi) menyiapkan lama wawi nera lima, juga thubu lau mai (lakimosa pati) menyiapkan bahan-bahan yang sama. Bahan-bahan ini diantar ke atas Thubu, kemudian memanggil lakimosa dari Cua (kampung tetangga) untuk menerima bahan-bahan tersebut, sesudah itu dilanjutkan dengan acara lempar melempar nasi dan daging dari bahan yang disiapkan. Setelah acara kao bholo selesai, dilanjutkan dengan pemberian makan minum kepada para tamu yang diundang. Pada acara kao bholo Lakimosa harus menyembelih babi lebih dulu kemudian diikuti atha riwu/wai walu. Sesudah selesai acara kao bholo, lakimosa pergi ke pantai untuk menurunkan bendera hias (tunggu-tunggu) dan membersihkan perahu/sampan yang digunakan untuk muat kerbau. Dengan dilaksanakannya kegiatan perbersihan perahu/sampan, maka Upara adat Pua Karapau dinyatakan selesai.

B.           UPACARA ADAT PATHI KHARAPHAU (tulisan tersendiri)
READ MORE - Upacara Adat "Pua Kharaphau"

Tuesday, June 21, 2011

Bagian Terindah dari Kehidupan Manusia

“Bagian terindah dari kehidupan manusia yang terbaik adalah Segala tindakan yang kecil, tak bernama, terlupakan dari Kebaikan dan Cinta”.

WILLIAM WORDSWORTH

       Tak ada hidup yang benar-benar bahagia, kecuali kalau kita memberikan sumbangan dalam batas kemampuan kita, kepada kebahagiaan orang lain. Tak ada hidup yang disebut benar-benar sukses, kecuali kalau hidup diisi dengan kehendak baik terhadap orang lain, kecuali kalau hidup memiliki sesuatu semangat persaudaraan terhadap semua orang. Kita hanya dapat memperoleh kebahagiaan dan benar-benar tumbuh, membangun dan berkembang jika mencurahkan hati sepenuhnya.
        Semangat untuk ‘berkehendak baik terhadap semua orang’, hati yang penuh kasih dan pemurah adalah kekayaan yang mengalahkan segala kekayaan material. Hal ini merupakan aset walau tak kasat mata yang jauh lebih berharga dibanding sekadar tumpukan uang. Kehendak baik membangun kemanusiaan. Uang, pada dirinya sendiri, tak akan mampu melakukan hal itu.
         Satu penyebab yang membuat banyak orang tidak sukses dalam hidupnya adalah sifat mereka yang terlalu kikir untuk memberi. Kita memiliki pasokan kehendak baik, simpati dan dukungan yang tak akan habisnya. Makin banyak yang kita berikan, makin banyak pula yang kita miliki. Makin banyak bantuan, dukungan, ilham dan harapan yang kita berikan, makin banyak pula yang kembali kepada kita.
         Kita hanya memiliki satu kehidupan di bumi ini yang bisa kita jalani. Kita harus menjalaninya untuk mendapatkan peningkatan. Meskipun mungkin kita gagal dalam upaya tertentu, kita tak perlu sama sekali mengalami kegagalan dalam hal kehendak baik. Dengan kesuksesan kita dalam hal ini, dunia mendapatkan keuntungan dari kehadiran kita yang singkat.

Weradamian, 21062011
READ MORE - Bagian Terindah dari Kehidupan Manusia

Saturday, April 9, 2011

lanjutan...Upacara Adat Pahti Kharapau


Pada pagi hari sesudah kegiatan Liko Thubu berakhir, para Lakimosa dan Waiwalu melaksanakan kegiatan “Rangga Ubi Thede” (memagar kampung) yang secara simbolis dipasang bambu penghalang pada pintu gerbang utama masuk kampung. Tujuannya untuk menghalangi orang-orang yang mempunyai niat jahat menghalangi upacara Pathi Kharapau. Sesudah Rangga Ubi Thede para Lakimosa Kombi mengutus petugas pergi ke Cua (kampung tetangga adat) dengan tugas khusus untuk menyampaikan undangan kepada para Lakimosa dari Thubu Cua dan masyarakat adat Cua supaya datang dan mengikuti kegiatan Togo Thodo Thana (tarian tandak di atas Thubu) dengan maksud untuk membuat tanah yang baru diratakan menjadi keras, sekaligus undangan untuk makan bersama karena sudah membantu memperbaiki Thubu. Atas undangan tersebut maka pada sore hari orang2 dari Kampung Cua datang ke Nitung dan diharuskan memasuki kampung Nitung melalui pintu gerbang utama yang sudah ditutup dengan pagar bambu. Untuk memasuki kampung Nitung mereka harus membongkar paksa “pintu gerbang” (rangga ubi tede). Sebelum pintu gerbang dibongkar, masing2 pihak akan saling melempar dengan menggunakan biji padi/beras sebanyak 5 kali secara bergantian, sambil melontarkan kata-kata yang membakar semangat dan emosi kedua belah pihak. Sesudah saling melempar padi/beras (sudah dipersiapkan) lima kali, pintu gerbang dibongkar paksa oleh para Lakimosa dan Waiwalu Cua, supaya bisa memasuki kampung adat Nitung. Acara diteruskan dengan saling melempar dengan biji padi, menyiram dengan air (kotor) atau saling “tembak menembak” dengan senapan bambu yang sudah dipersiapkan masing-masing pihak (semacam perang tanding). Acara ini harus dilaksanakan semeriah mungkin, kalau ada “kembang api” dengan bunyi yang keras dapat dinyalakan). Kegiatan ini berjalan mulai dari pintu gerbang utama sampai ke atas Thubu, lalu dilanjutkan dengan Togo-thodo thana dan nati thana ngarane (tarian dan nyanyian adat). Setelah itu, acara dilanjutkan dengan Makan Malam bersama. Masyarakat Adat Nitung akan melayani dan memberi makan kepada para undangan (Lakimosa dan masyarakat Cua dan semua orang yang pada saat itu datang menonton acara tersebut). Selesai makan bersama, acara Togo-thodo thana dan nati tana ngarane dilanjutkan sampai buka siang.

Pathi Karapau dan Tasimosa: merupakan Puncak Upacara Adat. 
Urutan Upacara: Pagi-pagi para Lakimosa Kombi membuat tenda bambu dengan atap berbentuk segitiga yang terletak di bagian selatan Thubu (sangat sederhana sesuai ketentuan adat). Tenda bambu darurat ini dibuat sebagai tempat untuk acara Tanga Kharapau (adalah sebuah ritus adat dimana “ata phisa/orang pintar” akan melakukan "penelitian/pemeriksaan" terhadap seluruh tubuh kerbau apakah ada Lobo Mae (Jiwa seseorang) yang dititipkan oleh orang-orang yang berniat jahat yang ditanamkan ke dalam badan kerbau tersebut sehingga membuat kecelakaan atau jatuh sakit, baik masyarakat adat Nitung maupun para tamu yang mengikuti upacara. Selanjutnya kerbau ditarik masuk tenda dan diikat pada tiang bambu yang sudah disiapkan, menunggu kegiatan Tanga Kharapau. Kegiatan Tanga Kharapau (pemeriksaan/pengamatan) oleh “Ata Phisa” dilakukan sepanjang hari, sampai memasuki persiapan acara Oro dan Ngonga Langa/Thai. Sambil menunggu acara Oro dan Ngonga Thai, pada sore hari di atas Thubu dilangsungkan acara Togo dan Niu Wae oleh pihak Lakimosa Pathi dan masyarakat. Acara ini ditandai dengan Lakimosa Kombi menyerahkan gading/emas kepada para Lakimosa Pathi dan menuangkan air (thambo wae) ke kaki Lakimosa Pathi, sambil terus Togo dan menyanyi dalam bahasa adat sebagai berikut: Embu de keso kose, Lera kami ae mai, ele lele le oooo mai lera kami ae mai, yang diulang sebanyak 5 kali. Sesudah ritus Togo dan Niu Wae diatas Thubu, para Lakimosa Kombi menngeret/tarik kerbau masuk ke rumah Lakimosa Tongge (Lakimosa Kombi yang selama lima tahun bertugas menjaga dan memelihara kerbau adat atau disebut Tedu lama wawi). Acara ini dimaksudkan sebagai acara pamitan terakhir dengan orang yang selama ini membesarkan dan menjaga kerbau. di dalam rumah dinyanyikan lagu adat Oro dan diulang sebanyak lima kali. Selanjutnya kerbau ditarik keluar dari rumah Lakimosa Tongge, dan pergi ke pelabuhan (langa) untuk melihat laut (thai) terakhir kalinya (lau ngonga langa/thai) yang secara simbolis hanya sampai diujung kampung, sepanjang perjalanan menuju ke pelabuhan/laut dan pulang selalu dinyanyikan lagu adat Oro. Maksud kegiatan ini juga sebagai acara pamitan terakhir. Setelah selesai melihat laut, kerbau ditarik kembali menuju Thubu. Dalam perjalanan menuju Thubu kerbau akan beristirahat sejenak di “Watu Woko” (nama tempat) guna memulihkan kekuatan karena dianggap lelah dan cape karena menempuh perjalanan jauh. Selama masa istirahat dibunyikan gong gendang sebanyak lima kali (maba ko cai homa lima). Sesudah istirahat, perjalanan dilanjutkan langsung menuju tempat upacara adat (diatas Thubu) melalui tangga utara. Diatas Thubu kerbau langsung diikatkan ke Mase (tiang utama untuk mengikat kerbau) yang sudah disiapkan oleh para Lakimosa Kombi. Dengan terikatnya kerbau pada tiang utama (Mase) menandakan bahwa kerbau telah diserahkan oleh para Lakimosa Kombi kepada para Lakimosa Pathi untuk dilanjutkan dengan Upacara Adat Pathi Kharapau. Kerbau siap dipotong. Yang bertugas untuk potong kerbau adalah para Lakimosa Pathi. Pembagian siapa yang memotong bagian leher, kaki depan dan kaki belakang diatur sendiri oleh para Lakimosa Pathi. Acara pemotongan harus berlangsung dengan sangat meriah, sambil menari dan menyanyi (secara adat) dan bunyi gong gendang disertai sorak sarai dan teriakan heroik para Lakimosa Pathi dan penonton, kerbau dipotong sampai mati. Pada saat kerbau jatuh dan mati kepala harus diarahkan ke arah matahari terbenam, pada mulutnya diberikan makanan berupa rumput gelagah (Oko) dan pada bagian leher disiram Siwe (padi) secukupnya, sebagai lambang bahwa arah jalannya sudah benar dan membawa serta makanan dan bekal secukupnya untuk sampai ketujuan. Sesudah kerbau mati, para Lakimosa Pathi pergi meninggalkan Thubu  menuju rumah peristirahatan yang juga sudah dipersiapkan. 
Acara dilanjutkan dengan ritus Tasimosa. Tasimosa adalah nyanyian permohonan (Ci Cawo) kepada sang Pecipta Semesta alam dan para leluhur agar memberikan kesuburan tanah, tanaman pertanian, perkebunan supaya menghasilkan buah berlimpah, ikan dilaut bertambah banyak, hutan bertumbuh subur dan lebat, agar memberkati semua orang supaya berhasil dalam semua usaha dan kegiatan, dan lain-lain permohonan. Acara ini ditandai dengan melagukan lagu Adat sambil menginjakan satu kaki ke atas tubuh kerbau, sebagai berikut: khami momo thasimosa o kamba khere bho lau (Refren 5 kali), dilanjutkan dengan (solo): Nodo tei thembo ere cewo lo ere kago, bhulu kami cabe ere po ne, puna ere bhawe ne, hi ne lae nggole tana, wunu ne reta nggoko roja, laki tuli nipine ere pii, repa ne ere bhawe, koja lokha ne mi mora, bhau reru ne mi hoga, thue tene ngura, thana thene mithe, antara Refrein dan Solo selalu diulang sebanyak lima kali. Nada Lagu dinyanyikan dengan penuh perasaan sedih. Sesudah Tasimosa seorang petugas yang sudah ditetapkan (Lakimosa Kombi) mengambil darah kerbau untuk disiramkan ke setiap tanah (tempat yang memberikan kehidupan) yang sudah ditetapkan secara adat oleh Lakimosa Kombi sebagai tanda persembahan kepada Era Wula Wathu Thana.

Kao Pholo dan Labe Kharapau. Acara ini dilaksanakan sehari setelah upacara Pathi Kharapau. Kao Pholo  adalah sebuah ritus adat untuk mengundang seluruh masyarakat adat Nitung, datang untuk makan dan minum bersama. Acara ini ditandai dengan pembagian masyarakat adat Nitung dalam 2 kelompok diatas Thubu, yaitu kelompok pertama berdiri dibagian utara, dan kelompok kedua dibagian selatan. Masing2 kelompok disiapkan nasi dan daging dalam 5 buah wadah (nera koli). Setiap kelompok diwakili satu orang melagukan nama tempat secara berturut-turut dan bergantian, kelompok selatan lebih dulu, dengan kata-kata sebagai berikut:
a.      Nunu Keu – Oko Wolo       : Retha mai, mai kha lama pesa wawi, ‘bho ‘bholo.
b.      Wua Tethu – Kabe Co       : Retha mai, mai kha lama pesa wawi, ‘bho ‘bholo.
c.       Raju Lebi – Lea Wawa      : Retha mai, mai kha lama pesa wawi, ‘bho ‘bholo.
d.      Koli Pela – Loa Keso          : Retha mai, mai kha lama pesa wawi, ‘bho ‘bholo.
e.      Nalu Wawa – Roki Role, Cai ae ubi ae thede: Retha mai, mai kha lama pesa wawi, ‘bho ‘bholo.
    Kelompok Utara, sebagai berikut:
a.      Thana ludu wa mai, Wathu pou wa mai  : Mai ka lama pesa wawi, ‘bho ‘bholo.
b.      Rea wa mai, Langa ca wa mai                 : Mai ka lama pesa wawi, ‘bho ‘bholo.
c.       ‘Bhati keni lae mai, Lenge tekho lae mai : Mai ka lama pesa wawi, ‘bho ‘bholo.
d.      Nunu wawa riphe mai, Wathu - Ao Pio wa mai   : Mai ka lama pesa wawi, ‘bho ‘bholo.
e.      Thana ludu watu kota wa mai, Nunu Teo Wathu Woko lau mai: Mai ka lama pesa wawi, ‘bho ‘bholo.
Setiap kali menyebut nama tempat secara bergantian antara kelompok selatan dan kelompok utara saling melempar dengan nasi dan daging yang sudah disiapkan dalam nera koli. Sampai pada lagu ke 5, semua anggota kelompok secara bersama-sama saling melempar dengan nasi dan daging, dengan demikian acara Kao Pholo berakhir dan langsung dilanjutkan dengan Labe Kharapau. Labe Kharapau adalah kegiatan memotong dan membagi-bagi daging kerbau untuk dibagikan kepada seluruh masyarakat adat Nitung. Sesudah Labe Kharapau, selama 2 hari Phije Potho (Masa berkabung). Pada hari ke 3 dilanjutkan dengan acara Ro Tolo. Acaranya sebagai berikut: Pada pagi hari para Lakimosa Kombi memotong Babi yang diserahkan oleh para Lakimosa Pathi sebagai pengganti Kerbau (Wawi cojo Karapau wai ne) karena para Lakimosa Kombi tidak memakan daging kerbau yang dipotong (haram). Pada malam harinya dipasang api untuk memanggang daging kerbau yang sudah dipotong-potong (Labe), dilanjutkan dengan acara Togo Nati Phatha (menari sambil menyebut nama-nama tempat) mulai dari sebelah Timur pulau Flores sampai di Nanga (salah satu nama tempat untuk bertemu secara adat di pantai Utara kabupaten Ende (Lio), kemudian berganti dari arah Barat pulau Flores juga berakhir di Nanga. Setelah selesai, para petugas menurunkan gong gedang (Maba Kho) dari (Woga Ca) dan membawanya ke atas (Thubu) pada malam itu juga untuk digantung pada tempat gantungan dari bambu yang sudah disiapkan. Sesudah Maba Kho dipersiapkan kegiatan dilanjutkan acara Nggeu. Nggeu  acara tarian dan menyanyikan lagu dalam bahasa adat sebagai berikut: O Nggeu ana 2 X, O ana motho kala le, O lele mbatha. Oh mbatha mo kae ari bhawe, ceka mo cala nanga reo, oh nggeu ana 2X. Nathi pata ne (diulang) 5X.
Setelah semua kegiatan selesai, Thunggu-thunggu (umbul-umbul), dan Maba Kho (Gong Gendang), dibawa kembali dan disimpan ditempat semula, sedangkan  tenda darurat tempat pemeriksaan/pengamatan kerbau (Tanga Kharapau) dibongkar dan dibuang di luar kampung Nitung (wa mai Liku). Bambu dan semua kayu yang dipakai selama acara Pathi Kharapau yang sudah dibuang Wa mai Liku tidak boleh digunakan untuk kepentingan apapun karena menurut kepercayaan dapat membawa petaka atau kematian.

Dengan selesainya acara terakhir di atas, maka berakhirlah semua rangkaian Upacara Adat Pathi Kharau di Nitung - Desa Niutng Lea, Kecamatan Palue – Kabuapten Sikka Flores NTT, yang berlangsung dari tanggal 14 sampai dengan 17 Maret 2011.

Pasti, masih banyak kurangnya tetapi daripada kehilangan semuanya, lebih baik yang sedikit ini saya catat. Terima kasih, kalau ada yang mau melengkapi kurangnya.

Ditulis kembali oleh: Wera Damianus,
Lakimosa Kombi Adat Nitung.
READ MORE - lanjutan...Upacara Adat Pahti Kharapau

Monday, April 4, 2011

Sebuah Permenungan


Sebuah permenungan
tentang
Pegawai Negeri Sipil (PNS), Jabatan dan Pejabat.

Mendengar kata PNS pikiran saya langsung melayang jauh ke sebuah tempat dimana berkumpul kelompok orang dengan seragam kebanggaannya dan dengan kehidupan yang penuh dengan kemewahan dan glamour. Dengan pikiran seperti itu banyak orang bercita-cita ingin menjadi PNS, kerja di kantor besar, mewah dengan berbagai fasilitas yang serba lengkap dan modern dan pasti dengan gaji yang sangat besar. Oleh karena itu, Setiap orang ingin hidup bahagia dan sejahtera. Untuk mencapai kedua harapan tersebut orang dapat menempuh dengan bermacam cara, antara lain dengan mengikuti pendidikan baik formal maupun non formal sebagai syarat dengan harapan dikemudian hari bisa bekerja dan atau berjuang untuk mendapatkan berbagai keterampilan sebagai bekal untuk menggapai harapannya. Untuk bekerja tentu juga dapat ditempuh dengan berbagai cara tergantung jenis pekerjaan yang tersedia. Bagi orang2 tertentu belajar merupakan kunci menuju kesuksesan dan mendapatkan pekerjaan, karena dengan memiliki pengetahuan dan keterampilan memadai seseorang akan jauh lebih mudah mendapatkan pekerjaan.
PNS merupakan salah satu jenis pekerjaan yang paling banyak diminati oleh sebagian besar orang Indonesia yang ingin merubah nasibnya ke arah yang lebih baik. Indikatornya adalah banyaknya pencari kerja yang melamar untuk menjadi PNS. Menjadi PNS juga menjadi cita-cita banyak orang setelah menyelesaikan pendidikannya di level manapun. Untuk bekerja sebagai seorang PNS terlebih dahulu mereka harus menempuh berbagai prosedur dan persyaratan sesuai ketentuan yang berlaku antara lain harus mebuat lamaran sesuai dengan latarbelakang pendidikan dan profesi yang akan ditekuni. Tujuan utama mereka melamar adalah menjadi PNS sehingga kalau Lulus pasti mendapatkan Nomor Identitas Pegawai yang lebih dikenal dengan sebutan Nomor Induk Pegawai atau sering disingkat dengan NIP. Karena dengan NIP seseorang secara pasti menurut ketentuan hukum telah terdaftar sebagai PNS, dan dengan sendirinya mendapatkan berbagai kemudahan dan terutama pendapatannya terjamin setiap bulan sepanjang hidupnya termasuk mendapat jaminan setelah pensiun atau meninggal.
Sepanjang pengamatan saya berdasarkan ketentuan yang berlaku, Tidak ada seorangpun yang melamar menjadi PNS untuk mendapatkan jabatan dan atau menjadi pejabat. Jabatan adalah sebuah kedudukan yang disediakan oleh Pemerintah berdasarkan kententuan yang berlaku untuk keberlangsungan roda pemerintahan, dan bukan untuk diperebutkan. Jabatan dengan sendirinya akan mengikuti fungsi dari sebuah organisasi yang dibentuk oleh Pemerintah untuk melaksanakan tugas tertentu. Sedangkan Pejabat adalah seseorang PNS yang karena Kepercayaan berdasarkan Standar Kompetensi yang dimilikinya diangkat untuk memangku jabatan sesuai ketentuan atau orang yang memiliki kewenangan dibidang kepegawaian untuk mendudukan seseorang dalam jabatan tertentu karena memiliki kemampuan dan prestasi atau kinerja yang dianggap cakap dan layak untuk jabatan tersebut dari PNS yang bersangkutan. Dengan kata lain Jabatan bukanlah Hak seorang PNS tetapi merupakan Kepercayaan yang diberikan oleh orang lain yang memiliki kewenangan untuk itu berdasarkan ketentuan peraturan yang berlaku. Jabatan tidak berlaku seumur hidup melainkan hanya berlaku sepanjang masih dipercayai oleh pejabat yang berwenang mengangkat, memindahkan atau memberhentikan sesuai ketentuan yang berlaku. Karena itu bagi sesorang PNS yang dikejar bukan jabatan melainkan prestasi kerja, dengan menunjukkan atau mengukir prestasi kerja dan perilaku yang baik, maka jabatan pasti akan datang dengan sendirinya tanpa perlu dikejar. Semoga.
READ MORE - Sebuah Permenungan