Saturday, July 23, 2011

Home » » Upacara Kematian berdasarkan Adat Nitung

Upacara Kematian berdasarkan Adat Nitung



Ritus adat kematian masyarakat adat Nitung dilaksanakan selama 3 hari, dengan urutan sejak saat kematian, adalah sebagai berikut:

a.   Hari Pertama:
1.   Ritual Poro Khukhu-Lolo (Potong Kuku dan Rambut).
Maksud acara: Memotong Kuku dan Rambut (khukhu-lolo) dari orang yang sudah meninggal sebagai lambang persekutuan bahwa walaupun badannya mati dan dikuburkan tetapi jiwanya tetap tinggal bersama keluarga yang masih hidup.  Tujuannya: agar orang yang sudah meninggal tetap tinggal hidup dan terhimpun bersama keluarga dimanapun mereka meninggal. Orang yang melakukan poro khukhu-lolo adalah atha wetha (saudari perempuan). Kuku dan rambut yang sudah dipotong dibungkus dalam kapas dan sehelai kain merah kemudian disimpan bersama khukhu-lolo keluarga lain yang sudah meninggal pada tempat khusus yang disebut Bhuku / Kenda (Kebis kecil) dan di sudut kamar khusus yang disebut ”Phidu”. Khukhu-lolo harus dijaga secara baik oleh salah seorang keluarga yang selalu tinggal di dalam rumah tersebut (atha ulu wua ne). Setiap kali melakukan upacara adat, maka harus selalu dipersembahkan sesajian khusus dalam bentuk makanan dan minuman (nee ngawu kha). Catatan: perlu ditelusuri lebih lanjut karena yang tercatat ini yang diingat.
2.   Acara thewe uwi:  Persiapan: semua jenis makanan yang dihasilkan disiapkan. Acara dimulai dengan pau siwe lae phidu dan dilanjutkan dengan menghambur berbagai jenis bahan makanan (bahan mentah) yang telah disiapkan di atas makam (biasanya di bagian kepala dan bagian kaki makam) oleh atha wetha (saudari perempuan). Acara dilaksanakan pada pagi hari pertama setelah orang yang meninggal dimakamkan. Tujuan acara Thewe uwi: memberi bekal yang cukup bagi orang yang telah meninggal agar tidak mengalami kekurangan makanan di alam baka??? Dalam tradisi aslinya, seharusnya berbagai jenis bahan makanan sebelum dihamburkan di atas makam  antara lain uwi (ubi), wewe (kacang panjang), keo (jagung) terlebih dahulu dimasak didalam rumah dengan memakai kaju roki (sejenis kayu beringin). Sesudah prosesi penghamburan makanan diatas makam, dilanjutkan dengan acara memberi makan kepada anak-anak pada sore hari. Acara di mulai dengan menyembelih seekor anak babi yang sudah disiapkan, kemudian dimasak dengan cara merebus. Acara ini bermakna sebagai lambang memberi makan orang dalam rumah. Selanjutnya disembelih seekor babi besar untuk memberi makan kepada orang di luar rumah, maksudnya semua orang yang datang melayat, membantu membuat peti mati dan menggali liang kubur serta sanak saudara yang datang melayat dari luar daerah dan tidak bisa pulang (menginap). Tidak seluruh bagian babi diolah tetapi bagian kepala babi dipotong dekat leher sedemikian rupa sehingga dipersiapkan untuk acara caä wawi thaba (bawah kepala babi) bagi pihak keluarga wanita atau pihak perempuan dari keluarga yang meninggal. Catatan: perlu digali lebih dalam karena yang tercatat ini yang diingat.

b.  Hari kedua:
    Upacara Phije Bhotho (Phije: haram, larang, Bhotho: rusak, busuk): artinya tidak melakukan aktifitas (kerja). Maksud upacara: agar semua orang dalam masyarakat adat dari keluarga yang meninggal yang sedang berkabung, tidak melakukan aktifitas apapun termasuk tidak boleh bekerja di kebun/ladang, karena akan berakibat semua jenis tanaman berubah,mengalami berwarna kuning, layu, rusak dan akhirnya mati. Catatan: perlu digali lebih dalam karena yang tertulis ini yang diingat.

c.    Hari ketiga:
1.    Acara Khua Wawa (Khua = buka, wawa = makam). Maksudnya setelah mayat diturunkan ke liang lahat dan dikuburkan, maka makam ditutup selama masa perkabungan dengan penutup kubur berupa tikar, atau ta (pelupuh) selama 3 hari, dan penutup makam baru dapat dibuka kembali pada hari ketiga, tepatnya pada sekitar jam 5 pagi. Pada masa sekarang karena makam langsung dibuat dari semen sehingga acara khua wawa jarang dilaksanakan. Pada hari tersebut setiap orang yang turut berkabung sudah bisa keluar dari tempat berkabung atau dari lingkungan adat dan dapat melakukan kembali seluruh aktifitas yang terhenti selama satu hari sebelumnya. Dalam acara khua wawa akan diamati diatas kuburan oleh orang pintar/dukun terhadap berbagai tanda/gambar atau tulisan yang dapat memberi makna tentang penyebab kematian orang yang bersangkutan.
2.    Acara Khobo Nio/Hona (khobo = potong, nio/hona = pohon kelapa/tanaman): Pada pagi/sore hari, pada hari ketiga atha wetha (saudari perempuan)  pana (pergi) memberi tanda satu jenis tanaman umur panjang milik saudara/keluarga yang meninggal misalnya kelapa, mangga, dan lain-lain sebagai lambang penyerahan dari pihak keluarga kepada pihak saudari (atha wetha)  untuk menjadi milik atha wetha.
3.    Setelah Acara Khobo Nio, dilanjutkan/dilaksanakan (secara besar-besaran) acara Pesta Adat (Bunuh Hewan, antara lain Babi) sebagai lambang kemenangan bahwa orang yang meninggal telah berkumpul kembali dengan penciptanya dan para leluhurnya (era wula wathu thana), dengan urutan acara sebagai berikut:
Upacara Lae Tio (mandi laut), acara dimulai dengan piá tha lowo siwe lae nua unene (buat lubang pada pelupuh untuk membuang biji beras(sesajian) lele oma lima (lima kali), dengan ucapan: (keri a wiwi, Kula (nama yang meninggal) akhu mo niu peli  mo angi, pana angimo ere tire masa, thaimo ere lina mbola, mangumo mi wara weo, lajamo mi phothe role, cai oma lima). Lege tedu yang sudah disiapkan di bawah ke atha wetha (wetha kela thaba), leka wa kali/ceka wathu ( lele nema oma lima) thene neo wathu. Sesudah itu lele nio, pesa siwe, wua mudu, pada pagi hari sebelum matahari terbit dua orang wanita dan seorang laki2 pergi mandi ke laut, sebagai lambang menjemput keluarga yang baru kembali dari mencari nafkah ditempat yang jauh (Flores). Dengan membawa wu, hupe, thobo, pothe loo, phuku, thephe, setibanya di pantai dimulai dengan acara pau siwe (biji beras), dilanjutkan dengan pergi ke pinggir pantai untuk mandi dengan muka menghadap ke laut. Sesudah mandi, kemudian semua membalikkan muka/badan menghadap ke darat, selanjutnya berangkat menuju ke kampung. Setelah tiba di luar kampung mereka akan dijemput oleh penjemput khusus. Penjemput akan memanggil/mananyakan mereka yang datang dari pantai dengan kata2: Bho atha wa (cai oma lima (5x) (thene niu tana miu mai ü ko laene). dijawab (wanita): khami mai ü (seharusnya acara ini dilaksanakan dipantai),  pua wawi, widi, lama,  noo khena the thione, mai caphu thene tithi wai tenge lama thene susu kua atha mathane. stelah itu dilanjutkan dengan tio lau khaju mengi, diujung kampung (natha wai). Orang yang berkabung disiram air dan selanjutnya dimandikan. Pulang dari luar kampung, mereka ngari (melepas lelah, istirahat) diujung kampung. Kegiatan ngari dilaksanakan dengan mama wua mudu, phake nio thene ninu, leka pana cai ae nua (dalam perarakan), sampai di rumah ganti pakaian di depan rumah dekat pintu masuk (seharusnya di dalam rumah) selanjutnya masuk ke dalam rumah sisir rambut, dan lain-lain, kemudian makan, minum, makan sirih pinang, isap rokok dan upacara selesai.
Bagi seluruh keluarga yang akan meninggalkan rumah duka untuk bepergian jauh  selama upacara adat belum selesai harus lowo/pau siwe, sebagai tanda pamit dan ucapan selamat berpisah. Dengan berakirnya ritual adat pada hari ke tiga, maka upacara ritual kematian dinyatakan selesai. Catatan: perlu digali lebih dalam karena yang tercatat ini yang diingat.

No comments:

Post a Comment