Saturday, April 9, 2011

Home » » lanjutan...Upacara Adat Pahti Kharapau

lanjutan...Upacara Adat Pahti Kharapau


Pada pagi hari sesudah kegiatan Liko Thubu berakhir, para Lakimosa dan Waiwalu melaksanakan kegiatan “Rangga Ubi Thede” (memagar kampung) yang secara simbolis dipasang bambu penghalang pada pintu gerbang utama masuk kampung. Tujuannya untuk menghalangi orang-orang yang mempunyai niat jahat menghalangi upacara Pathi Kharapau. Sesudah Rangga Ubi Thede para Lakimosa Kombi mengutus petugas pergi ke Cua (kampung tetangga adat) dengan tugas khusus untuk menyampaikan undangan kepada para Lakimosa dari Thubu Cua dan masyarakat adat Cua supaya datang dan mengikuti kegiatan Togo Thodo Thana (tarian tandak di atas Thubu) dengan maksud untuk membuat tanah yang baru diratakan menjadi keras, sekaligus undangan untuk makan bersama karena sudah membantu memperbaiki Thubu. Atas undangan tersebut maka pada sore hari orang2 dari Kampung Cua datang ke Nitung dan diharuskan memasuki kampung Nitung melalui pintu gerbang utama yang sudah ditutup dengan pagar bambu. Untuk memasuki kampung Nitung mereka harus membongkar paksa “pintu gerbang” (rangga ubi tede). Sebelum pintu gerbang dibongkar, masing2 pihak akan saling melempar dengan menggunakan biji padi/beras sebanyak 5 kali secara bergantian, sambil melontarkan kata-kata yang membakar semangat dan emosi kedua belah pihak. Sesudah saling melempar padi/beras (sudah dipersiapkan) lima kali, pintu gerbang dibongkar paksa oleh para Lakimosa dan Waiwalu Cua, supaya bisa memasuki kampung adat Nitung. Acara diteruskan dengan saling melempar dengan biji padi, menyiram dengan air (kotor) atau saling “tembak menembak” dengan senapan bambu yang sudah dipersiapkan masing-masing pihak (semacam perang tanding). Acara ini harus dilaksanakan semeriah mungkin, kalau ada “kembang api” dengan bunyi yang keras dapat dinyalakan). Kegiatan ini berjalan mulai dari pintu gerbang utama sampai ke atas Thubu, lalu dilanjutkan dengan Togo-thodo thana dan nati thana ngarane (tarian dan nyanyian adat). Setelah itu, acara dilanjutkan dengan Makan Malam bersama. Masyarakat Adat Nitung akan melayani dan memberi makan kepada para undangan (Lakimosa dan masyarakat Cua dan semua orang yang pada saat itu datang menonton acara tersebut). Selesai makan bersama, acara Togo-thodo thana dan nati tana ngarane dilanjutkan sampai buka siang.

Pathi Karapau dan Tasimosa: merupakan Puncak Upacara Adat. 
Urutan Upacara: Pagi-pagi para Lakimosa Kombi membuat tenda bambu dengan atap berbentuk segitiga yang terletak di bagian selatan Thubu (sangat sederhana sesuai ketentuan adat). Tenda bambu darurat ini dibuat sebagai tempat untuk acara Tanga Kharapau (adalah sebuah ritus adat dimana “ata phisa/orang pintar” akan melakukan "penelitian/pemeriksaan" terhadap seluruh tubuh kerbau apakah ada Lobo Mae (Jiwa seseorang) yang dititipkan oleh orang-orang yang berniat jahat yang ditanamkan ke dalam badan kerbau tersebut sehingga membuat kecelakaan atau jatuh sakit, baik masyarakat adat Nitung maupun para tamu yang mengikuti upacara. Selanjutnya kerbau ditarik masuk tenda dan diikat pada tiang bambu yang sudah disiapkan, menunggu kegiatan Tanga Kharapau. Kegiatan Tanga Kharapau (pemeriksaan/pengamatan) oleh “Ata Phisa” dilakukan sepanjang hari, sampai memasuki persiapan acara Oro dan Ngonga Langa/Thai. Sambil menunggu acara Oro dan Ngonga Thai, pada sore hari di atas Thubu dilangsungkan acara Togo dan Niu Wae oleh pihak Lakimosa Pathi dan masyarakat. Acara ini ditandai dengan Lakimosa Kombi menyerahkan gading/emas kepada para Lakimosa Pathi dan menuangkan air (thambo wae) ke kaki Lakimosa Pathi, sambil terus Togo dan menyanyi dalam bahasa adat sebagai berikut: Embu de keso kose, Lera kami ae mai, ele lele le oooo mai lera kami ae mai, yang diulang sebanyak 5 kali. Sesudah ritus Togo dan Niu Wae diatas Thubu, para Lakimosa Kombi menngeret/tarik kerbau masuk ke rumah Lakimosa Tongge (Lakimosa Kombi yang selama lima tahun bertugas menjaga dan memelihara kerbau adat atau disebut Tedu lama wawi). Acara ini dimaksudkan sebagai acara pamitan terakhir dengan orang yang selama ini membesarkan dan menjaga kerbau. di dalam rumah dinyanyikan lagu adat Oro dan diulang sebanyak lima kali. Selanjutnya kerbau ditarik keluar dari rumah Lakimosa Tongge, dan pergi ke pelabuhan (langa) untuk melihat laut (thai) terakhir kalinya (lau ngonga langa/thai) yang secara simbolis hanya sampai diujung kampung, sepanjang perjalanan menuju ke pelabuhan/laut dan pulang selalu dinyanyikan lagu adat Oro. Maksud kegiatan ini juga sebagai acara pamitan terakhir. Setelah selesai melihat laut, kerbau ditarik kembali menuju Thubu. Dalam perjalanan menuju Thubu kerbau akan beristirahat sejenak di “Watu Woko” (nama tempat) guna memulihkan kekuatan karena dianggap lelah dan cape karena menempuh perjalanan jauh. Selama masa istirahat dibunyikan gong gendang sebanyak lima kali (maba ko cai homa lima). Sesudah istirahat, perjalanan dilanjutkan langsung menuju tempat upacara adat (diatas Thubu) melalui tangga utara. Diatas Thubu kerbau langsung diikatkan ke Mase (tiang utama untuk mengikat kerbau) yang sudah disiapkan oleh para Lakimosa Kombi. Dengan terikatnya kerbau pada tiang utama (Mase) menandakan bahwa kerbau telah diserahkan oleh para Lakimosa Kombi kepada para Lakimosa Pathi untuk dilanjutkan dengan Upacara Adat Pathi Kharapau. Kerbau siap dipotong. Yang bertugas untuk potong kerbau adalah para Lakimosa Pathi. Pembagian siapa yang memotong bagian leher, kaki depan dan kaki belakang diatur sendiri oleh para Lakimosa Pathi. Acara pemotongan harus berlangsung dengan sangat meriah, sambil menari dan menyanyi (secara adat) dan bunyi gong gendang disertai sorak sarai dan teriakan heroik para Lakimosa Pathi dan penonton, kerbau dipotong sampai mati. Pada saat kerbau jatuh dan mati kepala harus diarahkan ke arah matahari terbenam, pada mulutnya diberikan makanan berupa rumput gelagah (Oko) dan pada bagian leher disiram Siwe (padi) secukupnya, sebagai lambang bahwa arah jalannya sudah benar dan membawa serta makanan dan bekal secukupnya untuk sampai ketujuan. Sesudah kerbau mati, para Lakimosa Pathi pergi meninggalkan Thubu  menuju rumah peristirahatan yang juga sudah dipersiapkan. 
Acara dilanjutkan dengan ritus Tasimosa. Tasimosa adalah nyanyian permohonan (Ci Cawo) kepada sang Pecipta Semesta alam dan para leluhur agar memberikan kesuburan tanah, tanaman pertanian, perkebunan supaya menghasilkan buah berlimpah, ikan dilaut bertambah banyak, hutan bertumbuh subur dan lebat, agar memberkati semua orang supaya berhasil dalam semua usaha dan kegiatan, dan lain-lain permohonan. Acara ini ditandai dengan melagukan lagu Adat sambil menginjakan satu kaki ke atas tubuh kerbau, sebagai berikut: khami momo thasimosa o kamba khere bho lau (Refren 5 kali), dilanjutkan dengan (solo): Nodo tei thembo ere cewo lo ere kago, bhulu kami cabe ere po ne, puna ere bhawe ne, hi ne lae nggole tana, wunu ne reta nggoko roja, laki tuli nipine ere pii, repa ne ere bhawe, koja lokha ne mi mora, bhau reru ne mi hoga, thue tene ngura, thana thene mithe, antara Refrein dan Solo selalu diulang sebanyak lima kali. Nada Lagu dinyanyikan dengan penuh perasaan sedih. Sesudah Tasimosa seorang petugas yang sudah ditetapkan (Lakimosa Kombi) mengambil darah kerbau untuk disiramkan ke setiap tanah (tempat yang memberikan kehidupan) yang sudah ditetapkan secara adat oleh Lakimosa Kombi sebagai tanda persembahan kepada Era Wula Wathu Thana.

Kao Pholo dan Labe Kharapau. Acara ini dilaksanakan sehari setelah upacara Pathi Kharapau. Kao Pholo  adalah sebuah ritus adat untuk mengundang seluruh masyarakat adat Nitung, datang untuk makan dan minum bersama. Acara ini ditandai dengan pembagian masyarakat adat Nitung dalam 2 kelompok diatas Thubu, yaitu kelompok pertama berdiri dibagian utara, dan kelompok kedua dibagian selatan. Masing2 kelompok disiapkan nasi dan daging dalam 5 buah wadah (nera koli). Setiap kelompok diwakili satu orang melagukan nama tempat secara berturut-turut dan bergantian, kelompok selatan lebih dulu, dengan kata-kata sebagai berikut:
a.      Nunu Keu – Oko Wolo       : Retha mai, mai kha lama pesa wawi, ‘bho ‘bholo.
b.      Wua Tethu – Kabe Co       : Retha mai, mai kha lama pesa wawi, ‘bho ‘bholo.
c.       Raju Lebi – Lea Wawa      : Retha mai, mai kha lama pesa wawi, ‘bho ‘bholo.
d.      Koli Pela – Loa Keso          : Retha mai, mai kha lama pesa wawi, ‘bho ‘bholo.
e.      Nalu Wawa – Roki Role, Cai ae ubi ae thede: Retha mai, mai kha lama pesa wawi, ‘bho ‘bholo.
    Kelompok Utara, sebagai berikut:
a.      Thana ludu wa mai, Wathu pou wa mai  : Mai ka lama pesa wawi, ‘bho ‘bholo.
b.      Rea wa mai, Langa ca wa mai                 : Mai ka lama pesa wawi, ‘bho ‘bholo.
c.       ‘Bhati keni lae mai, Lenge tekho lae mai : Mai ka lama pesa wawi, ‘bho ‘bholo.
d.      Nunu wawa riphe mai, Wathu - Ao Pio wa mai   : Mai ka lama pesa wawi, ‘bho ‘bholo.
e.      Thana ludu watu kota wa mai, Nunu Teo Wathu Woko lau mai: Mai ka lama pesa wawi, ‘bho ‘bholo.
Setiap kali menyebut nama tempat secara bergantian antara kelompok selatan dan kelompok utara saling melempar dengan nasi dan daging yang sudah disiapkan dalam nera koli. Sampai pada lagu ke 5, semua anggota kelompok secara bersama-sama saling melempar dengan nasi dan daging, dengan demikian acara Kao Pholo berakhir dan langsung dilanjutkan dengan Labe Kharapau. Labe Kharapau adalah kegiatan memotong dan membagi-bagi daging kerbau untuk dibagikan kepada seluruh masyarakat adat Nitung. Sesudah Labe Kharapau, selama 2 hari Phije Potho (Masa berkabung). Pada hari ke 3 dilanjutkan dengan acara Ro Tolo. Acaranya sebagai berikut: Pada pagi hari para Lakimosa Kombi memotong Babi yang diserahkan oleh para Lakimosa Pathi sebagai pengganti Kerbau (Wawi cojo Karapau wai ne) karena para Lakimosa Kombi tidak memakan daging kerbau yang dipotong (haram). Pada malam harinya dipasang api untuk memanggang daging kerbau yang sudah dipotong-potong (Labe), dilanjutkan dengan acara Togo Nati Phatha (menari sambil menyebut nama-nama tempat) mulai dari sebelah Timur pulau Flores sampai di Nanga (salah satu nama tempat untuk bertemu secara adat di pantai Utara kabupaten Ende (Lio), kemudian berganti dari arah Barat pulau Flores juga berakhir di Nanga. Setelah selesai, para petugas menurunkan gong gedang (Maba Kho) dari (Woga Ca) dan membawanya ke atas (Thubu) pada malam itu juga untuk digantung pada tempat gantungan dari bambu yang sudah disiapkan. Sesudah Maba Kho dipersiapkan kegiatan dilanjutkan acara Nggeu. Nggeu  acara tarian dan menyanyikan lagu dalam bahasa adat sebagai berikut: O Nggeu ana 2 X, O ana motho kala le, O lele mbatha. Oh mbatha mo kae ari bhawe, ceka mo cala nanga reo, oh nggeu ana 2X. Nathi pata ne (diulang) 5X.
Setelah semua kegiatan selesai, Thunggu-thunggu (umbul-umbul), dan Maba Kho (Gong Gendang), dibawa kembali dan disimpan ditempat semula, sedangkan  tenda darurat tempat pemeriksaan/pengamatan kerbau (Tanga Kharapau) dibongkar dan dibuang di luar kampung Nitung (wa mai Liku). Bambu dan semua kayu yang dipakai selama acara Pathi Kharapau yang sudah dibuang Wa mai Liku tidak boleh digunakan untuk kepentingan apapun karena menurut kepercayaan dapat membawa petaka atau kematian.

Dengan selesainya acara terakhir di atas, maka berakhirlah semua rangkaian Upacara Adat Pathi Kharau di Nitung - Desa Niutng Lea, Kecamatan Palue – Kabuapten Sikka Flores NTT, yang berlangsung dari tanggal 14 sampai dengan 17 Maret 2011.

Pasti, masih banyak kurangnya tetapi daripada kehilangan semuanya, lebih baik yang sedikit ini saya catat. Terima kasih, kalau ada yang mau melengkapi kurangnya.

Ditulis kembali oleh: Wera Damianus,
Lakimosa Kombi Adat Nitung.

No comments:

Post a Comment