Monday, April 4, 2011

Home » » Upacara Adat "Pathi Kharapau"

Upacara Adat "Pathi Kharapau"


Di Kampung Nitung, Desa Nitung Lea, Kecamatan Palue - Kabupaten Sikka.
Palue adalah sebuah pulau yang berada di utara pulau Folres, merupakan salah satu pulau dari pulau-pulau yang masuk dalam wilayah Kabupaten Sikka walaupun letaknya jauh dari teluk Maumere dan persisnya berada di wilayah utara Kabupaten Ende. Di pulau ini terdapat Gunung Api Rokatenda yang sampai saat ini masih tetap aktif. Untuk mencapai pulau Palue, orang dapat menggunakan perahu motor tradisional langsung dari pelabuhan L. Say Maumere menuju pulau Palue kurang lebih 4 jam, dan akan tiba dan berlabuh di pelabuhan Uwa Palue, atau dapat menempuh perjalanan darat dari Maumere menuju ke Mausambi atau Ropha di wilayah utara Kabupaten Ende kurang lebih 2,5  sampai 3 jam, kemudian dilanjutkan dengan menumpang perahu tradisonal menuju Palue kurang lebih 1 jam perjalanan. Ya, sebuah perjalanan yang menyenangkan tentu hanya bagi para petualang.
Palue merupakan bagian dari Kabupaten Sikka dimana Pemerintahan di pulau ini terdiri dari 1 Kecamatan dan 8 desa dengan ibukota Kecamatan berada di Uwa desa Maluriwu. Salah satu desa yang mempunyai Tradisi “Pathi Kharapau” adalah desa Nitung Lea, tepatnya di kampung Nitung dan Cua. Untuk mencapai kampung Nitung orang dapat menggunakan kendaraan ojek dari Uwa dengan biaya rata-rata Rp. 25.000,- dengan waktu tempuh 20 menit atau dapat berjalan kaki dengan waktu tempuh kurang lebih 2 jam perjalanan atau dapat berperahu menuju Langa Cua dan selanjutnya berjalan kaki menuju kampung Nitung. Nitung adalah sebuah nama kampung Adat dengan “Thubu” (tempat upacara adat) berada di tengah kampung, menandakan bahwa kehidupan masyarakat di daerah ini masih jauh dari sentuhan budaya modern.
“Pathi Kharapau” adalah salah satu upacara Adat di kampung Nitung desa Nitung Lea Kecamatan Palue, Kabupaten Sikka yang terletak di Pulau Palue. Upacara Adat “Pathi Kharapau” biasanya dilaksanakan setiap 5 tahun sekali. Upacara Adat ini merupakan sebuah upacara puncak Penyampaian Rasa Syukur dan Terima Kasih (Mbola So) atas semua keberhasilan dan juga kegagalan untuk semua hasil karya (dalam segala hal) yang sudah diperoleh masyarakat adat Nitung selama 5 tahun karena Kemurahan dan Belas Kasih serta Rahmat dan Berkat yang diperoleh dari “Era Wula Wathu Thana”. Era Wula Wathu Thana adalah sebuah kepercayaan yang diyakini oleh masyarakat adat Nitung bahwa selain kekuatan dan kehidupan di dunia ini, masih ada kekuatan yang lebih tinggi / maha tinggi yang dilambangkan dengan Era Wula dan para leluhur yang dilambangkan dengan Wathu Thana. “Pathi Kharapau” (bahasa Palue) artinya potong kerbau. Kerbau yang akan menjadi kurban persembahan ini adalah sebagai lambang atau tanda Rasa Syukur dan Terima Kasih masyarakat adat Nitung kepada Era Wula Wathu Thana, disiapkan dan dipelihara selama 5 tahun oleh “Lakimosa Kombi” (kepala adat).
Sebelum melaksanakan Upacara Adat “Pathi Kharapau” biasanya dimulai dengan beberapa kegiatan pendahuluan antara lain Kegiatan: Poo Thubu tene Pana Peta Wua Mudu, Poo Thubu Tene Noti Thubu dan Togo Niu Kharapau Ngarane serta Poo Thubu tene Mea Maba dan Togo (selama 5 malam). Berbagai kegiatan tersebut di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:

Poö thubu tene peta wua mudu: Poö thubu adalah sebuah ritus yang secara umum dilaksanakan di pulau Palue dan juga di Nitung. Ritus ini dilaksanakan dengan maksud untuk memohon Berkat dan Kemurahan dari “Era Wula Wathu Thana” (Penguasa dan Pencipta Alam Semesta dan para Nenek Moyang/Leluhur, yang dilambangkan dalam Era Wula Wathu Thana atau Matahari Bulan Batu dan Tanah) untuk berbagai kepentingan antara lain: membuka kebun baru, agar bunga dan buah yang muda tidak gugur, kesembuhan dari penyakit, terkabulnya sebuah perjuangan, kesuksesan dalam pekerjaan, dan sebagainya. Ritus ini dilaksanakan dengan cara menyembeli seekor anak babi di sore hari oleh Lakimosa, dimana darah babi akan dijadikan bahan persembahan kepada Era Wula Wathu Thana sebagai bagian dari permohonan agar berhasil dalam menyediakan wua mudu sedangkan dagingnya dibagikan kepada seluruh masyarakat adat Nitung sebagai tanda bahwa upacara Poo tubu tene peta wua mudu sudah dilaksanakan sekaligus mengumumkan kepada seluruh masyarakat adat Nitung untuk “Phije” (artinya tidak beraktifitas untuk semua jenis pekerjaan kecuali kegiatan rutin) selama 2 hari. Dalam hubungannya dengan upacara Pathi Kharapau dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat adat Nitung agar selama 2 hari berdoa dan memohon kepada Era Wula Wathu Thana supaya diberikan keberhasilan guna mempersiapkan bahan pangan (“wua mudu”) berupa beras, jagung, kacang, dan juga hewan terutama babi, dll, dalam rangka persiapan untuk menerima para tamu (kunu khapho, riu rero) yang akan datang pada waktu mengikuti upacara Pathi Kharapau.

Poö Thubu Thene Nothi Thubu dan Togo Niu Karapau Ngarane. Poo Thubu sebagaimana ritusnya sudah dijelaskan diatas bertujuan untuk memohon kepada Era Wula Wathu Thana agar memberikan keberhasilan kepada masyarakat adat Nitung guna mempersiapkan Thubu (tempat upacara adat), dan (Nothi thubu) membersihkan semua semak belukar dan lain-lain yang nanti digunakan sebagai tempat upacara Pathi Kharapau. Setelah “Pije” acara dilanjutkan dengan upacara Togo Niu Karapau Ngarane artinya seluruh masyarakat adat Nitung dan juga tamu secara bersama-sama melakukan tarian “Togo” (tarian adat) dan “Thio phata” (nyanyian adat) menyanyi sambil menyebut ulang nama kerbau yang akan dipotong agar selalu diingat. Catatan: Kerbau yang akan dipotong ini sudah diberi namanya sejak acara “Pua Kharapau” 5 tahun yang lalu, biasanya diberi nama sesuai dengan nama pemilik kerbau pada saat dibeli di wilayah utara pulau Flores. Kegiatan Nothi Thubu dan Togo Niu dilaksanakan secara bersama-sama seluruh masyarakat adat Nitung.

Poö Thubu tene Mea Maba dan Togo selama 5 malam: Acara poö thubu sama seperti sudah dijelaskan di atas, hanya berbeda tujuan yaitu memohon kepada Era Wula Wathu Thana  agar seluruh masyarakat adat Nitung diberi kesehatan dan kekuatan supaya dapat melaksanakan upacara Pathi Kharapau. Setelah Phije maka pada sore hari ke tiga, akan melangsungkan acara Mea Maba (membunyikan gendang adat) sebagai tanda bahwa upacara Pathi Kharapau sudah dekat. Dilanjutkan dengan kegiatan Togo (tarian adat) yang berlangsung selama 5 malam. Setelah malam yang ke lima kegiatan Togo, semua masyarakat adat dan juga para tamu menghentikan semua aktifitas adat dan tuba mata (tidur atau istirahat) dengan maksud untuk memulihkan kesehatan dan kekuatan yang menurun akibat acara togo selama lima malam. Keesokan harinya dilaksanakan kegiatan Lako Watu tene Liko Thubu.

Lako Watu adalah sebuah kegiatan yang dilaksanakan secara bersama-sama masyarakat adat Nitung dan juga para tamu, pergi mengangkat/mengambil batu di lokasi penggalian (tempat pengambilan sudah ditetapkan secara adat) dan membawa/memikul batu yang diambil secara bersama-sama ke kampung Nitung untuk kegiatan Liko Thubu. Batu yang dipikul berjumlah sepuluh buah terdiri dari dua buah ukuran besar sebagai lambang mewakili para Lakimosa dan delapan buah ukuran sedang sebagai lambang mewakili (Waiwalu) atau masyarakat, yang dikelompokan menjadi dua kelompok yaitu lima buah di bagian Lakimosa Kombi (Kepala Adat yang mempunyai Kerbau) dan lima buah dibagian Lakimosa Pathi (Lakimosa yang bertugas untuk potong Kerbau). Batu-batu yang dipikul ketika sampai di kampung akan diletakan bagian utara dan selatan Thubu masing-masing lima buah yang selanjutnya “disemayamkan” selama semalam dengan upacara yang disebut Cei Watu. Batu-batu ini akan dipergunakan untuk kegiatan memperbaiki bagian-bagian Thubu yang mengalami kerusakan (Liko Thubu).

Liko Thubu, kegiatan ini akan dilaksanakan sekitar jam 3 pagi dan harus sudah selesai sebelum matahari terbit atau sebelum datangnya cahaya matahari (± jam 5 pagi). Kegiatan ini akan dipimpin langsung oleh para Lakimosa dan dikerjakan oleh semua masyarakat adat Nitung dan juga para “Tamu” yang diundang khusus untuk melaksanakan kegiatan Liko Thubu. Dengan selesainya kegiatan Liko Thubu, maka selesailah semua acara atau kegiatan persiapan untuk menyambut Upacara Puncak “Pathi Kharapau”. Bersambung.

6 comments:

  1. Selamat siang Bapak,
    Saya minta ijin untuk mengangkat tulisan Bapak ini dalam newsletter Swisscontact Wisata, ya.
    Semoga tulisan ini menambah wawasan bagi seluruh pelaku pariwisata untuk mengetahui lebih bnayak tentang adat istiadat masyarakat Palu'e, pulau yang dilupakan - sebagaimana Bapak waktu itu menyebutnya. :-)
    Terima kasih.
    Dwi Setijo Widodo

    ReplyDelete
  2. Oh ya Pak Dwi, tidak apa2, maaf baru sekarang dijawab. Maklum sedikit sibuk. orang kampung, biasa.

    ReplyDelete
  3. Selamat siang bapak.
    Saya minta ijin mengambil tulisan bapak sebagai sumber tulisan akhir saya. Semoga tulisna ini bermanfaat bagi para pembaca serta menambah wawasan bagi orang muda di pulau Palue yg mungkin blum mengetahui secara detail ritual budaya ini.
    Terima kasih. Mbola so
    Paulus Joel Ostin Cawa , Mahasiswa semestar VII di STFK Ledalero

    ReplyDelete
    Replies
    1. Silahakan anak, itu sebuah catatan sederhana agar ada data tertulis dan mudah diingat oleh para anak cucu. ko khura lekha hamba sago, mbola so.

      Delete
  4. Salam sejahtera Bapak. Saya dari Spektakel (www.spektakel.id) - media yang fokus pada seni budaya Indonesia. Apakah kami boleh mempublikasikan tulisan bapak di website kami? Saya bisa dihubungi via email dimas@spektakel.id.

    Terima kasih banyak.

    ReplyDelete
  5. Selamat sore bapak, saya mohon ijin mengambil tulisan bapak sebagai sumber tulisan tugas saya, Mbola so sebelumnya bapak 🙏🏽

    ReplyDelete