Dalam
percakapan sehari-hari diantara orang Palue kita sering mendengar kata Mbola so diucapkan, baik berada di Pulau
Palue maupun berada di luar pulau Palue. Orang Palue adalah salah satu etnis
dari enam etnis penduduk di Kabupaten Sikka. Mereka bertempat tinggal di Pulau
Palue dan sebagian dari mereka berada dalam jumlah kecil tersebar di pesisir
utara pulau Flores. Orang Palue memiliki Bahasa, Adat dan Budaya sendiri
berbeda dari masyarakat pulau Flores umumnya. Orang Palue yang mengerti dan
memahami adat dan budayanya pasti dapat berbahasa Palue dengan baik dan benar
tanpa merasa malu menyatakan diri sebagai orang Palue.
Mbola so adalah sebuah kata yang selalu diucapkan
oleh setiap orang Palue sebagai ungkapan rasa terima kasih atas rejeki yang
diperoleh, pemberian, pertolongan, ucapan dan atau mendapat kunjungan dari
orang lain termasuk berbagai peristiwa yang membawa seseorang untuk
mengungkapkan perasaannya. Misalnya ada orang memberikan sesuatu kepada saya,
mengunjungi saya, menyampaikan ucapan selamat, menolong saya, atau saya
memperoleh hasil dari sebuah pekerjaan, perjuangan, atau peristiwa apa saja, maka
saya dengan tulus hati akan mengucapkan kata “Mbola So” (terima kasih) atau “Mbola
so so” (terima kasih banyak) kepada orang yang telah memberikan perhatian,
membantu atau kepada Tuhan pencipta semesta alam yang telah menganugerahkan
rejeki berlimpah kepada saya. Pernyataan terima kasih ini selain diucapkan
dalam kata mbola so (so) juga
diwujudkan dalam ritus adat orang Palue bila itu menyangkut kepentingan banyak
orang.
Berhubungan
dengan makna kata Mbola so tersebut
di atas, maka orang Palue pada dasarnya hidup menyesuaikan diri dengan kondisi
alam Palue yang keras dan tandus, mereka adalah manusia pekerja keras dan ulet,
tidak pernah menuntut agar orang lain memenuhi kebutuhannya, tidak pernah pasrah
pada keadaan alam dan pemberian alam, dan akan selalu bersyukur kepada Tuhan
dan leluhurnya melalui sebuah kepercayaan yang secara turun temurun terus dipelihara
dan dilaksanakan, yang dikenal dengan aliran kepercayaan “Era Wula Watu Thana”. Untuk semua kemurahan dan berkat yang
diterima atau dialami, orang Palue akan menyatakan rasa syukurnya melalui
berbagai ritual adat, salah satu diantaranya adalah melalui Upacara Adat “Pathi Kharaphau”.
Upacara
adat “Pathi Kharaphau” adalah sebuah
ritual adat yang dilaksanakan setiap 5 tahun sekali sebagai acara puncak
penyampaian terima kasih dan rasa syukur atas segala nikmat yang telah diterima
oleh masyarakat adat dimana upacara tersebut dilaksanakan. Inilah cara orang
Palue menyatakan Terima kasihnya kepada Pencipta Alam Semesta dan kepada para
Leluhurnya yang telah memberikan berbagai rejeki hidup, kasih sayang dan
kemurahannya kepada orang Palue. Upacara ini dilaksanakan di beberapa
desa/dusun yaitu di Nitung, Cua, Koa, Cawalo, Lei, Tomu dan Ladolaka dengan selang
waktu yang berbeda antara desa/dusun, tergantung pada penetapan waktu oleh
masing2 Lakimosa (Kepala Adat).
Bagi
anda yang berminat untuk mengikuti Upacara Adat “Pathi Kharaphau” sebagai ungkapan syukur dan terima kasih “Mbola So” di pulau Palue dapat menanyakan informasi tersebut kepada
Camat Palue atau kepala desa atau juga berhubungan langsung dengan
Lakimosa/masyarakat adat setempat untuk mengetahui kapan ritus adat tersebut
dilaksanakan.
Kiranya
tulisan sederhana ini dapat menambah wawasan dan kekayaan pengetahuan akan
beragam etnis, bahasa dan budaya di Nusantara tercinta ini sebagai kata ungkapan
Terima kasih.
Palue adalah sebuah pulau exotic yang berdiri mega sendirian di utara pulau Flores berjarak ±35 mil laut ke arah Barat Laut dari Kota Maumere. Pulau Palue masuk dalam wilayah pemerintahan Kabupaten Sikka, walaupun letaknya berada di Utara kabupaten Ende. Terkenal karena gunung api Rokatenda yang selalu aktif dan beberapa kali meletus, beberapa Ritual Adat yang sangat unik antara lain “Upacara Pathi Kharaphau”, juga tarian muda mudi yang sempat menjadi tarian rakyat NTT pada berbagai acara pesta seperti perkawinan dan acara lainnya yaitu tarian Rokatenda.
Pulau Palue dapat dicapai dari beberapa tempat, dari Maumere ibu kota Kabupaten Sikka dengan menggunakan perahu motor tradisional orang Palue selama lebih kurang 4 jam, dengan biaya yang relatif sangat murah (± Rp30.000,-) atau dari desa Ropha kabupaten Ende dengan perahu motor tradisional Palue (biaya negosiasi) lebih kurang 1 jam menuju pelabuhan alam Hoa Palue atau bisa berlabuh dimana saja di sekeliling pulau Palue karena hampir semua pantai di pulau ini memiliki pelabuhan alam yang indah. Berlayar di laut lepas, kadang teduh kadang berombak, angin dan arus dapat datang silih berganti. Bagi yang berjiwa petualang dan nenek moyangnya adalah pelaut merupakan hal yang biasa, tapi bagi mereka yang belum tahu kalau air laut itu asin mungkin akan menjadi sebuah pengalaman yang luar biasa, patut dicoba.
Orang Palue menamakan pulau ini dengan sebutan “Thana Lua”, karena itu “orang Palue” menamakan diri dengan sebutan “Atha Lua”. Atha Lua Memiliki Tradisi, Budaya dan Bahasa sendiri. Hampir semua “Atha Lua” beragama Katholik, agama yang diajarkan oleh Misionaris Portugis dan Belanda ketika datang di pulau Flores termasuk di Palue. Orang Palue sendiri sebelum masuknya agama Katholik, sudah memiliki sebuah Kepercayaan sendiri yang disebut ”Era Wula Wathu Thana”. Sebuah “kepercayaan” yang mengakui adanya Pencipta yang Maha Tinggi yang menguasai semesta alam, yang dalam keyakinannya dilambangkan dengan “Era Wula”, dan adanya hubungan horizontal sakral antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alam sekitarnya, yang dilambangkan dengan “Wathu Thana”. Aliran Kepercayaan ini Hidup dan dipertahankan oleh “atha lua” sejak kehadiran para leluhur “atha Lua” sampai saat ini.
Orang Palue hidup sebagai Petani dan Nelayan yang masih bersifat sangat tradisional. Para Petani mulai membuka dan mempersiapkan lahan untuk mananam tanaman pangan seperti jagung, kacang hijau, kacang panjang, ubi, ubi kayu dan berbagai jenis tanaman pangan lainnya pada awal musin hujan. Sebelum membuka kebun baru dan menanam benih diawal musim tanam, masayarakat Palue selalu memulainya dengan ritual adat pembukaan kebun dan penanaman benih, yang disebut dengan “Upacara Manu Wai”. Musim hujan hanya berlangsung singkat antara 3 – 4 bulan, dari Januari sampai bulan Maret atau April. Kemudian akan berganti dengan musim panas/kering yang berlangsung cukup panjang dari April sampai dengan Nopember - Desember.
Makanan utama orang Palue adalah Ubi, Jagung, Kacang2an dan Ikan yang diolah secara tradisional dan khas orang Palue. Tidak ada warung atau rumah makan diseluruh pulau Palue, jadi minta saja pasti diberi makan. Air merupakan barang langkah, mandi seadanya karena Palue tidak mempunyai sumber air tanah/permukaan kecuali air hujan yang ditampung dalam bak penampungan air hujan, tapi untuk minum ada kelapa muda. Jangan meminta yang tidak ada pada kami karena hanya ini yang kami punyai. Setiap tamu yang datang pasti disambut dengan penuh senyum dan ramah oleh orang Palue. Jangan bertanya tentang penginapan karena tidak ada satu penginapanpun (hotel, homestay, dan lain-lain) di Palue kecuali rumah penduduk. Mereka akan sangat bangga bila anda mau inap di rumah mereka yang sangat sederhana dan makan minum apa adanya bersama mereka.
Selain sebagai petani dan nelayan, para wanita Palue juga membuat kerajinan tenun ikat khas Palue yang disebut “Thama” untuk wanita dan “Nae” untuk laki-laki, tenunan ini selain dipergunakan sendiri dan/atau untuk dijual, juga sebagian hasil tenunan dalam bentuk “kain/sarung adat” yang digunakan hanya jika berbagai kegiatan ritual adat Palue dilaksanakan.
Adat Perkawinan orang Palue mirip dengan adat perkawinan di pulau Flores pada umumnya dengan Mahar (Belis) yang terdiri dari Uang, Gading, Emas, Babi, Kambing yang harus diserahkan oleh pihak keluarga lelaki dan kemudian dibalas oleh pihak keluarga wanita dengan sarung, baju dan berbagai bahan pangan. Besar kecilnya mahar tergantung pada ketentuan adat setempat dan kedudukan pihak lelaki dan wanita dalam strata adat setempat.
Tata Pemerintahan, terdiri dari 1 Kecamatan dan 8 desa yaitu Desa (Maluriwu, Reruwaerere, Lidi, Kesokoja, Ladolaka, Tuanggeo, Rokirole dan Nitung Lea). Ada tiga desa berlokasi di pinggir pantai, sedangkan 5 desa lainnya berada di daerah gunung. Ibu kota Kecamatan berada di Uwa desa Maluriwu. Jumlah pendudknya tercatat ±11.000 orang, kebanyakan wanita dan anak-anak karena sebagian besar pria dewasa berada diluar daerah dan bahkan di luar negeri mencari kehidupan yang lebih baik. Jaringan jalan antar desa sebagian sudah dirabat walaupun belum menjangkau semua desa. Alat transportasi darat saat ini hanya sepeda motor (Ojek). Sedangkan Alat transpor darat sebelumnya dan bahkan yang paling utama digunakan disana sampai saat ini adalah “Kaki”, jadi kalau tidak biasa, berlatihlah “berkaki” sebelum ke Palue.
Pulau Palue kaya dengan berbagai obyek wisata seperti Pantai dengan pasir yang indah, karang laut yang menantang, panorama alam, sumber uap air panas yang bisa digunakan untuk memasak dan juga sebagai sumber air minum, wisata budaya, adat dan kesenian tradisional serta kerajinan tenun ikat dengan bermacam ragam dan corak. Masing-masing desa atau kampung memiliki keunikan budaya dan tradisi sendiri. Namun berbagai kekayaan ini masih dalam keadaan aslinya, belum ditata dengan baik sehingga mungkin belum memiliki daya tarik Pariwisata dan bernilai ekonomis.
Desa Mauluriwu dan Reruwaerere; Terletak di pinggir pantai utara Palue. Di desa ini terdapat pantai Kerica, dermaga laut Kerica (sedang dibangun) dan Langa Hoa sebagai tempat tambatan perahu. Pantai Kerica berpasir yang cukup indah, diujung Timur pantai (di laut) terdapat “Uap air panas alam” yang dimanfaatkan untuk mandi dan dipercayai dapat menyembuhkan penyakit kulit, juga digunakan sebagai tempat khusus untuk masak makanan (ubi, sayuran, kacang, dan lain-lain) yang berlokasi di Tanjung Tiramana, Hoje Langaca, Wae Ate dan Hoje Poro, dan sumber uap panas (di darat) yang disuling untuk memperoleh air minum dan berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium Kesehatan kualitas air minum ini menyamai air minum mineral (aqua), Di desa Reruwaerere terdapat ritus adat “Thu Teu” yang akhir-akhir ini jarang dilaksanakan lagi, tergantung pada adanya hama tikus yang merusak tanaman masyarakat. Desa Tuanggeo dan Ladolaka: Di kedua desa ini terdapat upacara“Pathi Kharaphau”. Desa Nitung Lea dan desa Rokirole: Upacara Pathi Kharaphau juga dilaksanakan di desa Nitung Lea dan desa Rokirole. Tempat dilaksanakan upacara adat Pathi Kharaphau dinamakan “Thubu”. Acara adat ini biasanya dilaksanakan setiap 5 tahun sekali dengan waktu yang berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Desa Lidi, berada di sebelah Selatan pulau Palue, kepudan Gunung api Rokatenda langsung terbuka ke desa ini. Salah satu dusunnya yaitu dusun Ona telah dipindahkan ke Nangahure Kelurahan Hewuli karena letusan gunung Rokatenda tahun 1980 yang lahar panasnya telah menghanguskan seluruh perkampungan di dusun ini. Desa Kesokoja, berada di kaki gunung bagian Utara pulau Palue.
Ada 3 desa yang letaknya langsung berada di kaki gunung Rokatenda, yaitu desa Lidi, desa Nitung Lea dan desa Kesokoja. Di ketiga desa ini terdapat tempat wisata Rohani, Pantung Bunda Maria. Pulau ini dapat dikelilingi dengan perahu motor tradisional Palue sekitar 1 – 2 jam sambil menikmati keindahan alamnya.
Semua desa di Palue memiliki ritus adat “Mula Rathe” yaitu sebuah ritus adat yang bertujuan untuk mendirikan/menanam batu nisa sebagai tanda bahwa orang Palue tersebut telah meninggal. Dengan adanya tradisi adat tersebut, maka setiap orang Palue yang meninggal dimana saja di dunia ini, dapat dikuburkan di tempat dimana yang bersangkutan meninggal dunia, jenazahnya tidak perlu diantar pulang ke Palue, karena menurut adat Palue yang dibawa pulang cukup hanya Kuku dan Rambut. Kuku dan Rambut menjadi lambang kehadiran orang yang telah meninggal tersebut di tengah keluarga dan masyarakat adat. Karena itu, setiap orang Palue yang meninggal pasti ada upacara pemotongan Kuku dan Rambut yang nanti dibawa ke Palue dan dikumpulkan bersama kuku dan rambut para leluhur yang telah meninggal, sebagai tanda bahwa keluarga ini walaupun sudah meninggal tetap bersatu, berkumpul bersama keluarga yang masih hidup. Ritus adat ini sudah dilakansakan secara turun temurun sampai saat ini. Untuk desa-desa dimana masyarakat adat yang melaksanakan upacara “Pathi Kharapau” ritus adat ini dilaksanakan 1 (satu) tahun sebelum upacara Pathi Kharaphau dilaksanakan.
Beberapa ritus adat lain yang ada dan dilaksanakan secara turun temurun sampai sekarang adalah sebagai berikut: “Thapha Kua, Loge Thaba, Poo Thubu/Lengi Ene, Siko Siwe, Kha Tio, Thata Liba, Ngiru Phapha, Ngiru Uru, Peru/Kha Ngalu”. Ini adalah ritus adat yang berhubungan dengan siklus kehidupan manusia Palue sejak dalam kandungan sampai kematiannya.
Inilah secuil gambaran tentang Pulau Palue yang dalam peta Indonesia “tidak ada”, kecuali dalam peta Provinsi NTT, dan disebut pulau “Raja”, yang saya miliki dan saya bagikan. Pasti banyak cerita kurangnya, mudah-mudahan bisa menjadi petunjuk awal bagi mereka yang ingin mengunjungi dan menikmati berbagai kekayaan alam Palue dari dekat untuk bercerita dan menambah yang kurangnya. Terima kasih banyak (“Mbola so so”).
Palue adalah sebuah pulau kecil yang terletak sendirian ditengah laut Flores, bagian dari Kabupaten Sikka dan terletak ± 35 mil laut ke arah barat laut, mengalirkan cerita mengenai masyarakat yang menjunjung tinggi adat dan kebudayaannya yang tetap dipertahankannya sampai saat ini. Orang Palue memang unik karena memiliki identitas yang sangat khas berupa Bahasa, Kebudayaan dan Keseniannya.
Untuk mengenal lebih dekat mengenai Palue, saya mengajak kita bersama berlayar menuju ke sana. Perjalanan ke Pulau Palue diawali dengan persiapan di pelabuhan laut L. Say Maumere, lama perjalanan diperkirakan 4 – 5 jam dengan menggunakan perahu motor tradisional milik orang Palue. Kita mesti berdesak-desakan dengan penumpang orang Palue yang akan kembali setelah berbelanja berbagai keperluan pokok di Kota Maumere karena tidak ada sarana transportasi khusus untuk pergi dan pulang ke/dari Palue. Perahu motor biasanya berangkat jam 9 atau 10 pagi, dengan berlayar menyusuri pantai utara Maumere menuju ke arah Barat, terus melaju menuju tanjung Watumanuk. Dari tanjung ini pulau Palue baru dapat terlihat sayup nun jauh ditengah lautan. Bagi orang Palue bila sudah berada disekitar tanjung Watumanuk merasa seperti sudah berada di Palue.
Perahu motor akan berlabuh di pelabuhan Kerica atau pelabuhan Hoa, tergantung keadaan laut pada saat itu karena berhubungan dengan gelombang laut. Kalau musim Angin Barat maka pasti berlabuh di pelabuhan Kerica desa Reruwaerere tapi kalau saat itu musim Angin Timur maka pelabuhan yang dituju adalah Hoa desa Maluriwu. Namanya pelabuhan tapi masih alamiah tanpa dermaga. Penumpang akan turun ke darat dengan menggunakan sampan kecil tak bercadik (Sophe) yang dikendalikan oleh anak buah perahu motor, jadi harus sangat berhati-hati bagi yang belum terbiasa menumpang sampan ini, kalau tidak terpaksa mandi laut atau anggap saja sebagai upacara Selamat datang.
Pemeritahan di Pulau Palue adalah sebuah Kecamatan yang terdiri dari 8 desa, ada 3 desa terletak di pinggir pantai Utara dan Timur sedangkan 5 desa berada di daerah gunung bagian tengah dan barat Pulau Palue. Uwa adalah ibukota Kecamatan Palue yang terletak di pantai utara, tepatnya berada di desa Maluriwu. Di “kota” ini terdiri dari 2 desa yaitu desa Maluriwu dan desa Reruwaerere yang sebelumnya hanya satu desa yaitu desa Maluriwu, kemudian dimekarkan. Desa ini terdiri dari beberapa kampung yang berdekatan, terletak diatas bebukitan dengan pemandangan langsung ke arah laut. Masyarakat di kecamatan ini cukup ramah dan hidup penuh keakraban. Di desa Reruwaerere kadang dilakukan acara ritual adat Thu Theü. Acara ritual adat ini adalah sebuah ritual yang khusus dilakukan untuk mengusir tikus dari wilayah tersebut karena tikus dianggap sebagai hama yang merugikan petani. Selain upacara adat tersebut masih terdapat upacara adat lainnya yang disesuaikan dengan siklus kehidupan manusia, misalnya ritual adat kehamilan, kelahiran anak dan kematian.
Untuk mencapai desa lainnya, kita dapat melakukan perjalanan dengan menggunakan ojek bagi desa yang sudah dihubungkan dengan jalan raya yang sudah diberi rabat beton sedangkan bagi desa yang belum dapat dihubungkan dengan jalan raya dapat menggunakan perahu motor yang diatar ke pelabuhan terdekat ke kampung tersebut atau berjalan kaki.
Ada 4 desa di wilayah gunung mempunyai tradisi potong kerbau (Pathi Kharaphau) yaitu desa Ladolaka, Tuanggeo, Rokirole (dusun Cawalo dan Koa) dan desa Nitung Lea (dusun Nitung dan Cua). Tradisi Pathi Kharaphau adalah sebuah upacara puncak perayaan Syukur yang dilaksanakan oleh masyarakat adat setempat secara periodik 5 tahunan. Acara ini dimulai dengan berbagai ritual adat yang lain sebelum upacara puncak Pathi Kharaphau. Waktu pelaksanaan Pathi Kharaphau berbeda antara satu desa dengan desa lainnya tergantung pada keputusan dari masing-masing Lakimosa adat berdasarkan pada petunjuk yang disampaikan oleh “orang pintar”. Selain itu ada ritual adat lainnya yang disebut dengan ”Mula Rate” (menanam/meletakan Batu Nisan). Mula Rate adalah upacara meletakan “batu nisan” bagi setiap orang Palue yang meninggal dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Untuk kampung/dusun dengan ritual adat Pathi Kharaphau, ritual Mula Rate biasanya dilaksanakan 1 tahun sebelum upacara Pathi Kharaphau. Masih banyak ritual adat lainnya yang mengikuti siklus kehidupan orang Palue, selain berbagai cerita Legenda dan Mitos.
Demikianlah sekelumit cerita awal tentang orang Palue mengenai Identitas dan Budayanya. Untuk mengenal lebih jauh tentang Palue dan Budayanya saya mengajak semua orang yang berminat untuk mendalami dan memperlajarinya untuk menuju kesana.
Ritus adat kematian masyarakat adat Nitung dilaksanakan selama 3 hari, dengan urutan sejak saat kematian, adalah sebagai berikut:
a.Hari Pertama:
1.Ritual Poro Khukhu-Lolo (Potong Kuku dan Rambut).
Maksud acara: Memotong Kuku dan Rambut (khukhu-lolo) dari orang yang sudah meninggal sebagai lambang persekutuan bahwa walaupun badannya mati dan dikuburkan tetapi jiwanya tetap tinggal bersama keluarga yang masih hidup. Tujuannya: agar orang yang sudah meninggal tetap tinggal hidup dan terhimpun bersama keluarga dimanapun mereka meninggal. Orang yang melakukan poro khukhu-lolo adalah atha wetha (saudari perempuan). Kuku dan rambut yang sudah dipotong dibungkus dalam kapas dan sehelai kain merah kemudian disimpan bersama khukhu-lolo keluarga lain yang sudah meninggal pada tempat khusus yang disebut Bhuku / Kenda (Kebis kecil) dan di sudut kamar khusus yang disebut ”Phidu”.Khukhu-lolo harus dijaga secara baik oleh salah seorang keluarga yang selalu tinggal di dalam rumah tersebut (atha ulu wua ne). Setiap kali melakukan upacara adat, maka harus selalu dipersembahkan sesajian khusus dalam bentuk makanan dan minuman (nee ngawu kha). Catatan: perlu ditelusuri lebih lanjut karena yang tercatat ini yang diingat.
2.Acara thewe uwi:Persiapan: semua jenis makanan yang dihasilkan disiapkan. Acara dimulai dengan pau siwe lae phidu dan dilanjutkan dengan menghambur berbagai jenis bahan makanan (bahan mentah) yang telah disiapkan di atas makam (biasanya di bagian kepala dan bagian kaki makam) oleh atha wetha (saudari perempuan). Acara dilaksanakan pada pagi hari pertama setelah orang yang meninggal dimakamkan. Tujuan acara Thewe uwi: memberi bekal yang cukup bagi orang yang telah meninggal agar tidak mengalami kekurangan makanan di alam baka??? Dalam tradisi aslinya, seharusnya berbagai jenis bahan makanan sebelum dihamburkan di atas makam antara lain uwi (ubi), wewe (kacang panjang), keo (jagung) terlebih dahulu dimasak didalam rumah dengan memakai kaju roki (sejenis kayu beringin). Sesudah prosesi penghamburan makanan diatas makam, dilanjutkan dengan acara memberi makan kepada anak-anak pada sore hari. Acara di mulai dengan menyembelih seekor anak babi yang sudah disiapkan, kemudian dimasak dengan cara merebus. Acara ini bermakna sebagai lambang memberi makan orang dalam rumah. Selanjutnya disembelih seekor babi besar untuk memberi makan kepada orang di luar rumah, maksudnya semua orang yang datang melayat, membantu membuat peti mati dan menggali liang kubur serta sanak saudara yang datang melayat dari luar daerah dan tidak bisa pulang (menginap). Tidak seluruh bagian babi diolah tetapi bagian kepala babi dipotong dekat leher sedemikian rupa sehingga dipersiapkan untuk acara caä wawi thaba (bawah kepala babi) bagi pihak keluarga wanita atau pihak perempuan dari keluarga yang meninggal. Catatan: perlu digali lebih dalam karena yang tercatat ini yang diingat.
b. Hari kedua:
UpacaraPhije Bhotho (Phije: haram, larang, Bhotho: rusak, busuk): artinya tidak melakukan aktifitas (kerja). Maksud upacara: agar semua orang dalam masyarakat adat dari keluarga yang meninggal yang sedang berkabung,tidak melakukan aktifitas apapun termasuk tidak boleh bekerja di kebun/ladang, karena akan berakibat semua jenis tanaman berubah,mengalami berwarna kuning, layu, rusak dan akhirnya mati. Catatan: perlu digali lebih dalam karena yang tertulis ini yang diingat.
c.Hari ketiga:
1.Acara Khua Wawa(Khua = buka, wawa = makam). Maksudnya setelah mayat diturunkan ke liang lahat dan dikuburkan, maka makam ditutup selama masa perkabungan dengan penutup kubur berupa tikar, atau ta (pelupuh) selama 3 hari,dan penutup makam baru dapat dibuka kembali pada hari ketiga, tepatnya pada sekitar jam 5 pagi. Pada masa sekarang karena makam langsung dibuat dari semen sehingga acara khua wawa jarang dilaksanakan. Pada hari tersebut setiap orang yang turut berkabung sudah bisa keluar dari tempat berkabung atau dari lingkungan adat dan dapat melakukan kembali seluruh aktifitas yang terhenti selama satu hari sebelumnya. Dalam acara khua wawa akan diamati diatas kuburan oleh orang pintar/dukun terhadap berbagaitanda/gambar atau tulisan yang dapat memberi makna tentang penyebab kematian orang yang bersangkutan.
2.Acara Khobo Nio/Hona(khobo = potong, nio/hona = pohon kelapa/tanaman): Padapagi/sore hari, pada hari ketigaatha wetha (saudari perempuan) pana (pergi) memberi tanda satu jenis tanaman umur panjang milik saudara/keluarga yang meninggal misalnya kelapa, mangga, dan lain-lain sebagai lambang penyerahan dari pihak keluarga kepada pihak saudari (atha wetha) untuk menjadi milik atha wetha.
3.Setelah Acara Khobo Nio, dilanjutkan/dilaksanakan (secara besar-besaran) acara Pesta Adat (Bunuh Hewan, antara lain Babi) sebagai lambang kemenangan bahwa orang yang meninggal telah berkumpul kembali dengan penciptanya dan para leluhurnya (era wula wathu thana),dengan urutan acara sebagai berikut:
Upacara Lae Tio (mandi laut), acara dimulai dengan piá tha lowo siwe lae nua unene (buat lubang pada pelupuh untuk membuang biji beras(sesajian) leleoma lima (lima kali), dengan ucapan: (keri a wiwi, Kula (nama yang meninggal) akhu mo niu peli mo angi, pana angimo ere tire masa, thaimo ere lina mbola, mangumo mi wara weo, lajamo mi phothe role, cai oma lima).Lege tedu yang sudah disiapkan di bawah ke atha wetha (wetha kela thaba), leka wa kali/ceka wathu ( lele nema oma lima) thene neo wathu. Sesudah itu lele nio, pesa siwe, wua mudu, pada pagi hari sebelum matahari terbit dua orang wanita dan seorang laki2 pergi mandi ke laut, sebagai lambang menjemput keluarga yang baru kembali dari mencari nafkah ditempat yang jauh (Flores). Dengan membawa wu, hupe, thobo, pothe loo, phuku, thephe, setibanya di pantai dimulai dengan acara pausiwe (biji beras), dilanjutkan dengan pergi ke pinggir pantai untuk mandi dengan muka menghadap ke laut. Sesudah mandi, kemudian semua membalikkan muka/badan menghadap ke darat, selanjutnya berangkat menuju ke kampung. Setelah tiba di luar kampung mereka akan dijemput oleh penjemput khusus. Penjemput akan memanggil/mananyakan mereka yang datang dari pantai dengan kata2: Bho atha wa (cai oma lima (5x) (thene niu tana miu mai ü ko laene). dijawab (wanita): khami mai ü(seharusnya acara ini dilaksanakan dipantai), pua wawi, widi, lama,noo khena the thione, mai caphu thene tithi wai tenge lama thene susu kua atha mathane.stelah itu dilanjutkan dengan tio lau khaju mengi, diujung kampung (natha wai). Orang yang berkabung disiram air dan selanjutnya dimandikan. Pulang dari luar kampung, mereka ngari (melepas lelah, istirahat) diujung kampung. Kegiatan ngari dilaksanakan dengan mama wua mudu, phake nio thene ninu, leka pana cai ae nua (dalam perarakan), sampai di rumah ganti pakaian di depan rumah dekat pintu masuk (seharusnya di dalam rumah) selanjutnya masuk ke dalam rumah sisir rambut, dan lain-lain, kemudian makan, minum, makan sirih pinang, isap rokok dan upacara selesai.
Bagi seluruh keluarga yang akan meninggalkan rumah duka untuk bepergian jauh selama upacara adat belum selesai harus lowo/pau siwe, sebagai tanda pamit dan ucapan selamat berpisah. Dengan berakirnya ritual adat pada hari ke tiga, maka upacara ritual kematian dinyatakan selesai. Catatan: perlu digali lebih dalam karena yang tercatat ini yang diingat.
Maksud Upacara: untuk mendamaikan/memulihkan hubungan baik kedua pihak yang saling (muü) ”tidak saling bicara”, ”bermusuhan”. Tujuan Upacara: Tercapainya perdamaian/pemulihan dan kerukunan hidup antara para pihak yang bersengketa baik antar manusia maupun antara manusia dan alam (Thana Wathu). Bahan-bahan yang harus dipersiapkan, Siwe (biji beras, padi) secukupnya, telo (telur ayam) 1 butir, ule wunu 1 daun, leke matha (tempurung kelapa), wae (air yang diisi dalam leke matha), hao batang bambu (beberapa ruas).Peserta Upacara: Para pihak yang bersengketa, Pemangku Adat/Lakhimosa”Tatha Liba”. Jalannya Upacara Adat: Peserta duduk bersama di atas hao (batang bambu) yang diletakkan di tanah. Pemangku Adat/Lakhimosa mulai melakukan upcara Tatha liba (perdamaian/pemulihan) dengan membasahi peserta tatha liba mulai dari dahi, tangan, siku, bahu, lutut, jari kaki kiri/kanan sambil ujung ibu jari kaki kanan menjepit ule wunu yang terbungkus siwe pada setiap peserta Tatha liba yang duduk di atas bambu palang dengan kapas yang dibasahi air yang di isi di dalam leke matha. Selesai kegiatan ini dilanjutkan dengan ”Pae” (mantra/doa adat). Sesudah pae setiap peserta membuang ludah kedalam leke (tempurung)berisi air sambil mengambil siwe yang sudah disiapkan. Selanjutnya semua peserta berdiri dan melakukan siko siwe (membuang ke belakang meleawti bahu tanpa menoleh) sambil menendang bambu palang tempat duduk ke belakang, kemudian salah satu peserta upacara Tatha liba memecahkan telur yang disiapkan. Selesai kegiatan para peserta dapat saling memberi maaf dengan cara bersalaman atau berpelukan, dan Acara selesai. Biaya Upacara: ditanggung oleh para pihak. Penanggung jawab Upacara: Pemangku Adat.
Salah satu Bahasa mantra / doa (Pae) yang diucapkan Pemangku Adat: ”INA RETHA ERA NOO WULA, AMA LAE WATHU NOO THANA, INA WO NODO LAU NUA EE NITHU, AMA WO TEI LAU WOGA EE NOA, INA CUGU KUNIMO PHULU NOO KUNIMO, AMA CEMO LAJAMO WAO NOO LAJAMO, SUDA THAA NOO PHU MO AE NODO THE THUNE, SIKE TAA NOO MORIMO AE TERERANE, KAJU PHADA TEKI KAJU, THALI PHIDE LANGA THALI. THOU THAGA NESU THALI, BHU NODO THEMBO THENE CEWO, MORI THEI LO THENE ERE KAGO, NANGU LE NANGU NANGA, TIO LE WAE RIO”.
Catatan:Tata Upacara dapat dilengkapi bila ada yang merasa belum lengkap.
Upacara Pua Kharaphau (pua: muat, angkut; kharaphau: kerbau)ini dilaksanakan sekali dalam 5 tahun, sesudah kerbau sebelumnya di potong (acara Pathi Kharaphau (Tersendiri). Sebelum upacara Pua Kharaphau dilaksanakan ada masa menunggu yang cukup lama. Tanda bahwa upacara Pua Kharaphau akan dimulai ialah kalau ada tuan tanah (Lakimosa) yang sakit berat tanpa penyebab. Jika petunjuk ini benar (melalui atha pisane) bahwa harus pua kharaphau maka upacara akan secepatnya dijalankan.
Sebelum dilaksanakan upacara muat kerbau, didahului dengan acara/ritus Khau Cibo /Ci Cawo (permohonan) / Khau cibo raja le ulu ca eko lawan ae thene rora ae le ulu loon eko suthin. Acara ini dilaksanakan secara bersamaan dengan ritus Phoo Tubhu. Setelah Pii (bebas beraktifitas= setelah hari ketiga), para Lakimosa lalu pergi untuk mencari dan membeli kerbau di wilayah Lio (Utara Flores).
Sesudah kerbau diperoleh, maka mereka yang ditugaskan untuk mencari kerbau harus pulang/kembali dulu ke kampung Nitung untuk mendirikan Woga Ca (rumah adat kerbau), dan Mea Maba (membunyikan gendang adat). Sesudah Woga Ca selesai dibangun, langsung mengadakan upacara adat yaitu Thumu Tegi Taa, Pije (tidak melakukan aktifitas) sampai kerbau dibawa dari Lio (Utara Flores), masyarakat adat yang tinggal di kampung tidak boleh kerja (tenun sarung, kerja kebun/ladang dan lain-lain) sampai kerbau tiba di pantai, Karena jika di kampung masyarakat beraktifitas/kerja maka kerbau akan berontak selama perjalanan menuju pantai Nitung. Setelah rombongan pengangkut kerbau tiba di pantai Nitung, baru pii (masyarakat adat bebas beraktifitas).
Acara Turun dari Kampung untuk berangkat Muat Kerbau.
Mea maba (membunyikan gendang adat) dilaksanakan di dalam woga ca, setelah itu gendang adat diturunkan (sawe lo maba kho) untuk dibawa ke pantai, perjalanan sampai di Nunu Teo (nama tempat) maba kho (gendang gong dibunyikan) pertama kalisebagai pembukaan, yang kedua di Watu (nama tempat), yang ketiga Widi Kaja (nama tempat), yang keempat Bhasa Woko (nama tempat), yang kelima Nunu (nama tempat), yang keenam di Lenge (nama tempat), yang ketujuh Bhati Keni (nama tempat), dan yang terakhir di pantai. Pada waktu mau naik perahu maba ko di atas perahu disertai Selengea (memutar perahu 360 derajat) sebanyak 5 kali kemudia langsung berlayar menuju utara Flores. Pada waktu tiba di Lio Selengea sebanyak 5 kali di pelabuhan lalu maba ko diturunkan ke darat. Kerbau di seret/tarik ke pantai. Sebelumnya ada acara makan minum bersama dengan pemilik kerbau sebagai acara perpisahan.
Acara Kerbau akan dinaikan ke Perahu (di Flores).
Acara Penyerahan kerbau oleh pemilik kerbau kepada Lakimosa, kemudian Lakimosa menyerahkan barang berharga sebagai balasan (biasanya emas, gading). Setelah acara penyerahan secara adat, Kerbau langsung di muat ke atas perahu yang sudah disiapkan, selanjutnya dilaksanakan acara Oro (lagu adat) sebanyak5 kalidan diikuti Selengea sebanyak 5 kali. Setelah acara oro dan selengea, perahu langsung berangkat menuju pantai Nitung Palue.
Acara Kerbau tiba di Pantai Nitung Palue.
Setibanya di pantai Nitung dilakukan Oro 5 kali, Selengea 5 kali stelah itu kerbau langsung diturunkan. Sebelum kerbau menginjakan kaki di daratan (tanah Nitung), maka ujung tali pengikat kerbau harus diterima terlebih dahulu oleh Lakimosa Kombi yang bertugas menerima ujung tali (thali ngalu). Setelah kerbau tiba di darat, istirahat, masyarakat/semua peserta acara dibagikan ketupat. Setelah selesai makan ketupat, kerbau siap untuk diberangkatkan ke kampung dimana pemegang tali kerbau oleh suku Soliawa yang tarik/mengeret sampai Bhasa Woko, lalu kerbau diserahkan kembali kepada Lakimosa Kombi dimana pihak Lakimosa Kombi akan menerima dengan ucapan terima kasih berupa uang sesen dua (lambang) kepada suku Soliawa.
Selanjutnya Kerbau dieret sampai di Nunu Teo dan istirahat, lalu dieret lagi sampai di Woga Ca, kemudian dari woga ca kerbau langsung dieret lagi ke Thubu untuk makan Oko (gelagah/sejenis rumput) dengan disertai acara menari mengelilingi kerbau (Singgi-singgi) sebanyak 5 kali, kemudian kerbau dieret turun dari atas thubu menuju ke Woga Ca (tempat tinggal kerbau selama 5 tahun) untuk diikat. Setelah itu dilanjutkan dengan acara pemberian makan minum untuk semua peserta. Pada sore harinya kerbau dieret kembali ke Thubu untuk acara tandak selama 3 malam. Malam pertama acara togo niu kena ngaran/niu we (memberi nama kerbau), berlanjut sampai malam ketiga. Malam ke empat semua peserta upacara istirahat – tidur. Malam ke lima togo (tarian adat) dilanjutkan langsung dengan Nggeu. Setelah Nggeu, dilanjutkan dengan acara tumu tegi taa (lali noo wawi).
Setelah kerbau masuk Thubu (woga Ca), 2 hari kemudian diadakan acara Kao Bholo – yaitu Thubu raja mai (lakimosa kombi) menyiapkan lama wawi nera lima, juga thubu lau mai (lakimosa pati) menyiapkanbahan-bahan yang sama. Bahan-bahan ini diantar ke atas Thubu, kemudian memanggil lakimosa dari Cua (kampung tetangga) untuk menerima bahan-bahan tersebut, sesudah itu dilanjutkan dengan acara lempar melempar nasi dan daging dari bahan yang disiapkan. Setelah acara kao bholo selesai, dilanjutkan dengan pemberian makan minum kepada para tamu yang diundang. Pada acara kao bholo Lakimosa harus menyembelih babi lebih dulu kemudian diikuti atha riwu/wai walu. Sesudah selesai acara kao bholo, lakimosa pergi ke pantai untuk menurunkan bendera hias (tunggu-tunggu) dan membersihkan perahu/sampan yang digunakan untuk muat kerbau. Dengan dilaksanakannya kegiatan perbersihan perahu/sampan, maka Upara adat Pua Karapau dinyatakan selesai.
“Bagian terindah dari kehidupan manusia yang terbaik adalah Segala tindakan yang kecil, tak bernama, terlupakan dari Kebaikan dan Cinta”.
WILLIAM WORDSWORTH
Tak ada hidup yang benar-benar bahagia, kecuali kalau kita memberikan sumbangan dalam batas kemampuan kita, kepada kebahagiaan orang lain. Tak ada hidup yang disebut benar-benar sukses, kecuali kalau hidup diisi dengan kehendak baik terhadap orang lain, kecuali kalau hidup memiliki sesuatu semangat persaudaraan terhadap semua orang. Kita hanya dapat memperoleh kebahagiaan dan benar-benar tumbuh, membangun dan berkembang jika mencurahkan hati sepenuhnya.
Semangat untuk ‘berkehendak baik terhadap semua orang’, hati yang penuh kasih dan pemurah adalah kekayaan yang mengalahkan segala kekayaan material. Hal ini merupakan aset walau tak kasat mata yang jauh lebih berharga dibanding sekadar tumpukan uang. Kehendak baik membangun kemanusiaan. Uang, pada dirinya sendiri, tak akan mampu melakukan hal itu.
Satu penyebab yang membuat banyak orang tidak sukses dalam hidupnya adalah sifat mereka yang terlalu kikir untuk memberi. Kita memiliki pasokan kehendak baik, simpati dan dukungan yang tak akan habisnya. Makin banyak yang kita berikan, makin banyak pula yang kita miliki. Makin banyak bantuan, dukungan, ilham dan harapan yang kita berikan, makin banyak pula yang kembali kepada kita.
Kita hanya memiliki satu kehidupan di bumi ini yang bisa kita jalani. Kita harus menjalaninya untuk mendapatkan peningkatan. Meskipun mungkin kita gagal dalam upaya tertentu, kita tak perlu sama sekali mengalami kegagalan dalam hal kehendak baik. Dengan kesuksesan kita dalam hal ini, dunia mendapatkan keuntungan dari kehadiran kita yang singkat.